Undang Undang Perlindungan Anak
Pasal penipuan online
%PDF-1.5
%µµµµ
1 0 obj
<>>>
endobj
2 0 obj
<>
endobj
3 0 obj
<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/MediaBox[ 0 0 595.44 841.92] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>>
endobj
4 0 obj
<>
stream
xœÅ\ëoÜ8’ÿ ÿCì^¤eñ%Jƒ�'Žç2y\vâìá�ݲÝq;~Ägw°7ÿýUb©EIÎ.p3ˆÝ-Éb±ªXUüÑG»«¯íùnñë¯G»]{¾Ý\,¾œ~¿ÿÇÁéŸ÷›ƒ�íåÕ]»»ú~wx¸xyüjñòôù³ƒ±¢(õâôëógbQÂÿbaD!´^ØƦ^œÞ>V..ñÇoÏŸ}Y¾[Ùåæðóhµ¶Ëüq»ª—W«u½¼[ í>=î€âaµÖË)v«fù#�¾Xýcqúûóg¯�dž`C¨º(MÊÆ—å¢×2Òê²Ð=Ú¿}n�—b%Ôò
~:@†>¬Öfù}eà9<’¹.ëª(-ï’šÿ¾ZWËö.ÓL–¦(o¶ÎÒÖ…j8í{Ûn%J7˜„¯%üðOåº�«d^P‹×ï_-2òòûn÷ývLIzjQÙBJ=0Ìÿ Š¬ËBê–Í 7U½¨µ,DµxØ<ö_YÜyUÒMaaµ+YT•^èª.„]”…Mc‰öë_ž?û+Ÿ¥ÞÈBi7 Draft lengkap UU Narkotika Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Undang-Undang Narkotika di Indonesia adalah regulasi yang mengatur penanganan narkotika dan zat adiktif lainnya. Undang-Undang Narkotika yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berikut ini adalah ringkasan tentang Undang-Undang Narkotika di Indonesia: Definisi Narkotika: Undang-Undang Narkotika memberikan definisi yang luas tentang narkotika, termasuk zat-zat yang dilarang seperti ganja, kokain, heroin, ekstasi, dan berbagai jenis obat-obatan terlarang lainnya. Pelarangan dan Pengawasan: Undang-Undang Narkotika secara tegas melarang produksi, peredaran, pengedaran, serta penyalahgunaan narkotika. Semua kegiatan terkait narkotika harus diawasi dan diatur oleh pemerintah. Hukuman: Undang-Undang Narkotika memberikan sanksi yang sangat keras terhadap pelanggaran terkait narkotika. Sanksi ini termasuk hukuman mati, penjara seumur hidup, atau hukuman penjara jangka panjang dan denda yang tinggi. Hukuman yang diberikan tergantung pada jenis narkotika, jumlah yang ditemukan, dan peran pelaku dalam tindakan ilegal tersebut. Rehabilitasi: Selain memberikan sanksi pidana, undang-undang juga mendorong rehabilitasi bagi pengguna narkotika yang tertangkap. Program rehabilitasi ini bertujuan untuk membantu pemulihan fisik dan psikologis para pengguna narkotika. Pengawasan dan Penegakan Hukum: Undang-Undang Narkotika memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum dan lembaga pemerintah terkait untuk melakukan pengawasan, penyelidikan, penindakan, dan pemberantasan kegiatan terkait narkotika. Tambahan informasi tentang hukuman bagi bandar, pengedar, dan pengguna narkotika di Indonesia adalah sebagai berikut: Penting untuk dicatat bahwa hukuman yang disebutkan di atas dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, seperti jenis narkotika, jumlah yang ditemukan serta peran pelaku. a.
bahwa
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial; b.
bahwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang; c.
bahwa
sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan; d.
bahwa
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak
memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan
amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; e.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu
membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28
C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; Dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Presiden Republik Indonesia Undang-Undang Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. 2.
Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. 3.
Sistem
pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling
terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 4.
Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu. 5.
Tenaga
kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat
untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. 6.
Pendidik
adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain
yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. 7.
Jalur
pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan
potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan
pendidikan. 8.
Jenjang
pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang
dikembangkan. 9.
Jenis
pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan
suatu satuan pendidikan. 10.
Satuan
pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan
jenis pendidikan. 11.
Pendidikan
formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 12.
Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang. 13.
Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 14.
Pendidikan
anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak
lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 15.
Pendidikan
jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan
pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi
komunikasi, informasi, dan media lain. 16.
Pendidikan
berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan
agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan
pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. 17.
Standar
nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18.
Wajib
belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga
Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 19.
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. 20.
Pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. 21.
Evaluasi
pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan. 22.
Akreditasi
adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. 23.
Sumber
daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan
prasarana. 24.
Dewan
pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur
masyarakat yang peduli pendidikan. 25.
Komite
sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali
peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli
pendidikan. 26.
Warga
negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 27.
Masyarakat
adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian
dan peranan dalam bidang pendidikan. 28.
Pemerintah
adalah Pemerintah Pusat. 29.
Pemerintah
Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah
Kota. 30.
Menteri
adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional. DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN Pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN Pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa. Pendidikan diselenggarakan
sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Pendidikan diselenggarakan
sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan diselenggarakan
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran. Pendidikan diselenggarakan
dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap
warga masyarakat. Pendidikan diselenggarakan
dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA, ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH Hak dan Kewajiban Warga Negara Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. Warga negara di daerah
terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus. Warga negara yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Setiap warga negara berhak
mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan
dasar. Setiap warga negara
bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Hak dan Kewajiban Orang Tua Orang tua berhak berperan
serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang
perkembangan pendidikan anaknya. Orang tua dari anak usia
wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Hak dan Kewajiban Masyarakat Masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi program pendidikan. Masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pemerintah dan
Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun. Setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak : a.
mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama; b.
mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; c.
mendapatkan
beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya; d.
mendapatkan
biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya; e.
pindah ke
program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; f.
menyelesaikan
program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak
menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. Setiap peserta
didik berkewajiban : a.
menjaga
norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan
pendidikan; b.
ikut
menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Warga negara
asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan
mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN Jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya. Pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap
muka dan/atau melalui jarak jauh. Jenjang
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Jenis pendidikan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan
khusus. Jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Pendidikan dasar
merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain
yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah
(MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Ketentuan
mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pendidikan
menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan. Pendidikan
menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat. Ketentuan
mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup
program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan
tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka. Perguruan tinggi
dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau
universitas. Perguruan tinggi
berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat. Perguruan tinggi
dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi. Ketentuan
mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Perguruan tinggi
yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan
program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya. Perseorangan,
organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi
dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. Gelar akademik,
profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang
dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. Penggunaan gelar
akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan
dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang
bersangkutan. Penyelenggara
pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang
melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan. Gelar akademik,
profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara
pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dinyatakan tidak sah. Ketentuan
mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Universitas,
institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan
gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu
yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa
dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan,
kebudayaan, atau seni. Pada
universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau
profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebutan guru
besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif
bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi. Dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan
tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi
keilmuan. Perguruan tinggi
memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat. Perguruan tinggi
dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan
berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. Ketentuan
mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Perguruan tinggi
menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi,
atau vokasi. Lulusan
perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar
akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya. Ketentuan mengenai
persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan
nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap
dan kepribadian profesional. Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan
kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik. Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan
pendidikan yang sejenis. Kursus dan
pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan
diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil pendidikan
nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal
setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan. Ketentuan
mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kegiatan pendidikan informal
yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. Hasil pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan
nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan. Ketentuan
mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak
usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak
usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal,
dan/atau informal. Pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK),
Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB),
Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau
pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Ketentuan
mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pendidikan
kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggara-kan oleh departemen
atau lembaga pemerintah nondepartemen. Pendidikan
kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan
tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau
lembaga pemerintah non-departemen. Pendidikan kedinasan
diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk
agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli
ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan
berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan
bentuk lain yang sejenis. Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pendidikan Jarak Jauh Pendidikan jarak
jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan jarak
jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang
tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler. Pendidikan jarak jauh
diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh
sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan
sesuai dengan standar nasional pendidikan. Ketentuan mengenai
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan layanan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang,
masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana
sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Ketentuan
mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Bahasa daerah
dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila
diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan
tertentu. Bahasa asing
dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu
untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Setiap warga
negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib
belajar. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan
tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Ketentuan
mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Standar nasional pendidikan
terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang
harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar nasional pendidikan
digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana
dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Pengembangan standar
nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara
nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan. Ketentuan
mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pengembangan kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Kurikulum pada semua jenjang
dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan
satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan memperhatikan : a.
peningkatan
iman dan takwa; b.
peningkatan
akhlak mulia; c.
peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d.
keragaman
potensi daerah dan lingkungan; e.
tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f.
tuntutan
dunia kerja; g.
perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h.
agama; i.
dinamika
perkembangan global; dan j.
persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Ketentuan mengenai
pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat : a.
pendidikan
agama; b.
pendidikan
kewarganegaraan; c.
bahasa; d.
matematika; e.
ilmu
pengetahuan alam; f.
ilmu
pengetahuan sosial; g.
seni dan
budaya; h.
pendidikan
jasmani dan olahraga; i.
keterampilan/kejuruan;
dan 1.
muatan
lokal. Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat : a.
pendidikan
agama; b.
pendidikan
kewarganegaraan; dan c.
bahasa. Ketentuan
mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kerangka dasar dan struktur
kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh
setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah. Kurikulum pendidikan tinggi
dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Kerangka dasar
dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi
yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
setiap program studi. PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Tenaga kependidikan bertugas
melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan
pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pendidik dan
tenaga kependidikan berhak memperoleh : a.
penghasilan
dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; b.
penghargaan
sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c.
pembinaan
karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; d.
perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual;
dan e.
kesempatan
untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang
kelancaran pelaksanaan tugas. Pendidik dan
tenaga kependidikan berkewajiban : a.
menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan
dialogis; b.
mempunyai
komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan c.
memberi
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pendidik dan
tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah. Pengangkatan,
penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh
lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal. Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga
kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu. Ketentuan
mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pendidik harus memiliki
kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh
perguruan tinggi yang terakreditasi. Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Promosi dan
penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar
belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang
pendidikan. Sertifikasi pendidik
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga
kependidikan yang terakreditasi. Ketentuan
mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Penyelenggara pendidikan
oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh
masyarakat. SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN Setiap satuan pendidikan
formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan
pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik,
kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Tanggung Jawab Pendanaan Pendanaan pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur
dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Ketentuan
mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sumber Pendanaan Pendidikan Sumber pendanaan pendidikan
ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Pengelolaan Dana Pendidikan Pengelolaan dana
pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik. Ketentuan
mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pengalokasian Dana Pendidikan Dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Gaji guru dan dosen yang
diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Dana pendidikan dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam
bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dana pendidikan dari
Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan
mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. PENGELOLAAN PENDIDIKAN Pengelolaan
sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri. Pemerintah
menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin
mutu pendidikan nasional Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan
pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan
yang bertaraf internasional. Pemerintah Daerah Propinsi
melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga
kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas
daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah Kabupaten/Kota
mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan
yang berbasis keunggulan lokal. Perguruan tinggi menentukan
kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Ketentuan mengenai
pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah. Pengelolaan satuan
pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas,
jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Pengelolaan
satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat. Ketentuan
mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagai-mana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan
kepada peserta didik. Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola
dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Ketentuan
tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri. PERAN SERTA MASYARAKAT Peran serta
masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Masyarakat dapat
berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan. Ketentuan
mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pendidikan Berbasis Masyarakat Masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan
nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kepentingan masyarakat. Penyelenggara pendidikan
berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi
pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional
pendidikan. Dana penyelenggaraan
pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara,
masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga pendidikan berbasis
masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya
lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Ketentuan
mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah Masyarakat berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan,
dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah. Dewan pendidikan sebagai
lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana
dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi,
dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Komite sekolah/madrasah,
sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu
pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana
dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Ketentuan
mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI Evaluasi dilakukan dalam
rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk
akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Evaluasi
dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur
formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Evaluasi hasil
belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evaluasi peserta
didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga
mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan. Pemerintah dan Pemerintah
Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan. Masyarakat dan/atau
organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan
evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. Ketentuan mengenai evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Akreditasi dilakukan untuk
menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan
formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Akreditasi terhadap program
dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang
berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. Akreditasi dilakukan atas
dasar kriteria yang bersifat
terbuka. Ketentuan mengenai
akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sertifikat berbentuk ijazah
dan sertifikat kompetensi. Ijazah diberikan kepada
peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau
penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. Sertifikat kompetensi
diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta
didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk
melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga
sertifikasi. Ketentuan mengenai
sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. PENDIRIAN SATUAN
PENDIDIKAN Setiap satuan pendidikan
formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau
Pemerintah Daerah. Syarat-syarat untuk
memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan,
sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan. Pemerintah atau Pemerintah
Daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pendirian
satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Satuan pendidikan yang
didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara
lain menggunakan ketentuan Undang-undang ini. PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA
NEGARA LAIN Satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan
ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan
Pemerintah Republik Indonesia. Lembaga pendidikan asing
yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan
pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga pendidikan asing
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama
dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan
asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola
Warga Negara Indonesia. Kegiatan pendidikan yang
menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai
penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/ madrasah melakukan pengawasan
atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan
sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas
publik. Ketentuan mengenai
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Perseorangan, organisasi,
atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi,
gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Penyelenggara perguruan
tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih
beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau
profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap orang
yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi
persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap orang yang
menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau
vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap orang
yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan
yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). Setiap orang yang memperoleh
dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23
ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). Setiap orang
yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,
dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Setiap orang yang dengan
sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Lulusan yang karya ilmiah
yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan
jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Penyelenggara satuan
pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). KETENTUAN
PERALIHAN Penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang pada saat Undang-undang ini diundangkan belum
berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap
berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-undang yang mengatur badan hukum
pendidikan. Pemerintah atau Pemerintah
Daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada satuan pendidikan
formal yang telah berjalan pada saat Undang-undang ini diundangkan belum
memiliki izin. Semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya Undang-undang ini masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan
Undang-undang ini. Semua peraturan
perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-undang ini harus
diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang
ini. Pada saat mulai
berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang
Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor
155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. UNDANG‑UNDANG
REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, Menimbang : a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Yang Masa Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan
penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh
pencipta‑Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan
martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya; b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar
yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng,
oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; c. bahwa selain hak asasi, manusia juga
mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan
terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa‑Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk
menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi
Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa‑Bangsa, serta berbagai
instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima
oleh negara Republik Indonesia; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia, perlu membentuk Undang‑undang tentang Hak Asasi Manusia; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal
26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan
ayat (3), dan Pasal 34 Undang‑Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA Menetapkan : UNDANG‑UNDANG
TENTANG HAK ASASI MANUSIA. Dalam Undang‑undang
ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah‑Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia; 2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat
kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan
tegaknya hak asasi manusia. 3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya. 4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang
hebat, baik jasmasi maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan
atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas
suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang
atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk
diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh,
atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau
pejabat publik. 5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. 6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang‑undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. 7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang
selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya
setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Negara Republik
Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari
manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. (1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan
martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat
persaudaraan. (2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum. (3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun. (1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi
yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama
sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. (2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan
perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak. (3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat
yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. (1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua
upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi
manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak
asasi manusia yang telah diterima negara
Republik Indonesia. (2) Ketentuan hukum internasional yang telah
diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia terutama
menjadi tanggung jawab Pemerintah. Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung
jawab Pemerintah. HAK ASASI MANUSIA DAN
KEBEBASAN DASAR MANUSIA (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap orang berhak tenteram, aman, damai,
bahagia, sejahtera lahir dan batin. (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Hak Berkeluarga dan
Melanjutkan Keturunan (1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung
atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. Hak Mengembangkan Diri Setiap orang berhak
atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Setiap orang berhak atas
perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan,
mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia
yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan
sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. Setiap orang berhak untuk mengembangkan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya
sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia. (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan
lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis sarana yang tersedia. Setiap orang berhak
untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun
kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Setiap orang berhak
untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebijakan, mendirikan organisasi untuk
itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana
untuk maksud tersebut dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. Hak Memperoleh Keadilan Setiap orang, tanpa
diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,
pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi
serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang
jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. (1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan
dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak
bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang
pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang‑undangan. (2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum
atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang‑undangan
yang sudah ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya. (3) Setiap ada perubahan dalam perturan perundang‑undangan,
maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. (4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan
bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. (5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua
kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. (1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun
diancam dengan hukuman perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah. (2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh
dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk
memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Hak Atas Kebebasan
Pribadi (1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau
diperhamba. (2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak,
perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa,
dilarang. Setiap orang berhak
atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh
menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya. (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing‑masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang
memeluk agamanya dan kepercayaannya itu. (1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan pilitiknya. (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan
dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan
nilai‑nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan
bangsa. (1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat,
dan berserikat untuk maksud‑maksud damai. (2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat
berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi
lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan
negara sejalan dengan tuntutan
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang‑undangan. Setiap orang berhak
untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (1) Setiap orang berhak memiliki, memperoleh,
mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya. (2) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya
dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak‑hak yang bersumber dan
melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai
warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk
secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara
Republik Indonesia. (2) Setiap warga negara Indonesia berhak
meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (1) Setiap orang berhak mencari suaka untuk
memperoleh perlindungan politik dari negara lain. (2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang
bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa‑Bangsa. (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. (2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan
hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. Setiap orang berhak
atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu. (1) Tempat kejadian siapapun tidak boleh diganggu. (2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat
kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang
mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal‑hal yang telah ditetapkan oleh
undang‑undang. Kemerdekaan dan
rahasia dalam hubungan surat‑menyurat termasuk hubungan komunikasi
melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim
atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Setiap orang tidak
boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan, atau dibuang
secara sewenang‑wenang. Setiap orang berhak hidup
dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram,
menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undnag‑undang ini. Hak atas Kesejahteraan (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama‑sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya,
keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan
sewenang‑wenang dan secara melawan hukum. (3) Hak milik mempunyai fungsi sosial. (1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi
kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan
segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (2) Apabila suatu benda berdasarkan ketentuan hukum
demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk
selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal
itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‑undangan kecuali ditentukan lain. (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat,
kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih
pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat‑syarat
ketenagakerjaan yang adil. (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang
melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah
serta syarat‑syarat perjanjian kerja yang sama. (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam
melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas
upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan
kehidupan keluarganya. Setiap orang berhak
untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi
anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai
dengan kententuan peraturan perundang‑undangan. Setiap orang berhak
untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. (1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial
yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara
utuh. (2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia
lanjut, wanita hamil, dan anak‑anak, berhak memperoleh kemudahan dan
perlakuan khusus. Setiap warga negara
yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk
menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
miningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hak Turut Serta dalam
Pemerintahan (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan
memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang‑undangan. (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya
dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang‑undangan. (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap
jabatan pemerintahan. Setiap orang berhak
sendiri maupun bersama‑sama berhak mengajukan pendapat, permohonan,
pengaduan, dan atau usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan
pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan meupun dengan
tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. Hak wanita dalam
Undang‑undang ini adalah hak asasi manusia. Sistem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di
bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai
persyaratan yang ditentukan. Seorang wanita yang
menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis
mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk
mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya. Wanita berhak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur
pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat
dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan
perundang‑undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan
khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal‑hal yang
dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi
reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita
dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum. Wanita
yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum
sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya. (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak‑anaknya
dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. (2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua
hal yang berkenaan dengan anak‑anaknya, dengan memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak. (3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang‑undangan. (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang
tua, keluarga, masyarakat, dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk
kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam
kandungan. (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas
suatu nama dan status kewarganegaraan. Setiap anak yang cacat
fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan
bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan
martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setiap anak berhak
untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, berekspresi sesuai dengan tingkat
intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu
membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik sesuai dengan Undang‑undang
ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan,
dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang
tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua
angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah
meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai orang tua. (3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. (1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan
orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan anak tersebut. (2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan
bentuk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan
terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman. (1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari
orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada
alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu demi
kepentingan terbaik bagi anak. (2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap
dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang‑undang. (1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat,
dan tingkat kecerdasannya. (2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi
pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai‑nilai kesusilaan dan
kepatutan. Setiap anak berhak
untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan
berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan dirinya. Setiap anak berhak
untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai
dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya. Setiap anak berhak untuk
tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan
sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Setiap anak berhak
untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap
pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan,
kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya. Setiap anak berhak
untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual,
penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. (1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan
sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak
dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. (3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas
kebebasannya secara melawan hukum. (4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara
anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir. (5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus
dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. (6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku. (7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang
obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. KEWAJIBAN DASAR MANUSIA Setiap orang yang ada
diwilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang‑undangan,
hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang
telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Setiap warga negara
wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‑undangan. (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat,
bebangsa, dan bernegara. (2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan
kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain
secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukannya. Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
oleh Undang‑undang dengan meksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis. KEWAJIBAN DAN TANGGUNG
JAWAB PEMERINTAH Pemerintah wajib dan
bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi
manusia yang diatur dalam Undang‑undang ini, peraturan perundnag‑undangan
lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh
negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung
jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah
implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. PEMBATASAN DAN LARANGAN Hak dan kebebasan yang
diatur dalam Undang‑undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan
undang‑undang, semata‑mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Tidak satu
ketentuanpun dalam Undang‑undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah,
partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau
menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang‑undang
ini. KOMISI NASIONAL HAK
ASASI MANUSIA Komnas HAM
bertujuan : a. mengembangkan kondisi yang konduksif bagi
pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang‑Undang
Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa‑Bangsa, serta Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia; dan b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. (1) Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM
melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi
tantang hak asasi manusia. (2) Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang
profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita‑cita
negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak
asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. (3) Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara
Republik Indonesia. (4) Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di
daerah. Komnas HAM berasaskan
Pancasila. (1) Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri
dari : a. sidang
paripurna; dan (2) Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat
Jenderal sebagai unsur palayanan. (1) Sidang Paripurna adalah pemegang kekuasaan
tertinggi Komnas HAM. (2) Sidang Paripurna terdiri dari seluruh anggota
Komnas HAM. (3) Sidang Paripurna menetapkan Peraturan Tata
Tertib, Program Kerja, dan Mekanisme Kerja Komnas HAM. (1) Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh
Subkomisi. (2) Ketentuan mengenai Subkomisi diatur dalam
Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. (1) Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan
administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM. (2) Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris
Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bantuk biro‑biro. (3) Sekretaris Jenderal dijabat oleh seorang
Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM. (4) Sekretaris Jenderal diusulkan oleh Sidang
Paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (5) Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan
organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ketentuan mengenai
Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata
Tertib Komnas HAM. (1) Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh
lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala
Negara. (2) Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2
(dua) orang Wakil Ketua. (3) Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh
dan dari Anggota. (4) Masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5
(lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu)
kali masa jabatan. Yang dapat diangkat menjadi anggota
Komnas HAM adalah Warga Negara Indonesia yang : a. memiliki pengalaman dalam upaya menunjukan
dan melindungi orang atau kelompok yang dialanggar hak asasi manusianya; b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi,
pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya; c. berpengalaman di bidang legeslatif,
eksekutif, dan lembaga tinggi negara; atau d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat,
anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi. (1) Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan
berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan
Presiden. (2) Anggota Komnas HAM berhenti antarwaktu sebagai
anggota karena: a. meninggal
dunia; b. atas
permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan
anggota tidak dapat menjalankan tugas selama 1 (satu) tahun secara terus‑menerus; d. dipidana karena bersalah melakukan tindak
pidana kejahatan; atau e. melakukan perbuatan tercela dan atau hal‑hal
lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan martabat dan
reputasi, dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM. Ketentuan mengenai
tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan
Komnas HAM ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. (1) Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban : a. menaati ketentuan peratuan perundang‑undangan
yang berlaku dan keputusan Komnas HAM; b. berpartisipasi secara aktif dan sungguh
sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas HAM; dan c. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena
sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM yang diperoleh berdasarkan kedudukannya
sebagai anggota. (2) Setiap Anggota Komnas HAM berhak: a. menyampaikan usulan dan pendapat kepada
Sidang Paripurna dan Subkomisi; b. memberikan suara dalam pengambilan keputusan
Sidang Paripurna dan Subkomisi; c. mengajukan dan memilih calon Ketua dan Wakil
Ketua Komnas HAM dalam Sidang Paripurna; dan d. mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM
dalam Sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan antarwaktu. Ketentuan lebih lanjut
mengenai kewajiban dan hak Anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya
ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. (1) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam
pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan: a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen
internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran‑saran
mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi; b. pengkajian dan penelitian berbagai peratuan
perundang‑undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan,
dan pencabutan peraturan perundnag‑undangan yang berkaitan dengan hak
asasi manusia; c. penerbitan hasil pengkajian dan penelitian; d. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi
banding di negara lain mengenai hak asasi manusia; e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan
dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan
organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, meupun
internasional dalam bidang hak asasi manusia. (2) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam
penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan
berwenang melakukan : a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi
manusia kepada masyarakat Indonesia; b. upaya peningkatan kesadaran masyarakat
tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non‑formal
serta berbagai kalangan lainnya; dan c. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau
pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam
bidang hak asasi manusia. (3) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam
pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan
berwenang melakukan: a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan
penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut; b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap
peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya
patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia; c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban
maupun pihak yang dilakukan untuk
dimintai dan didengar keterangannya; d. pemanggilan saksi untuk diminta didengar
kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang
diperlukan; e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat
kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu; f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk
memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan
sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan; g. pemeriksaan setempat terhadap rumah,
pekarangan, bangunan, dan tempat‑tempat lainnya yang diduduki atau
dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan
Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan,
bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam
masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat
Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak. (4) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang
melakukan : a. perdamaian kedua belah pihak; b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli; c. pemberian saran kepada para pihak untuk
menyelesaikan sengketa melalui pengadilan; d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus
pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti
penyelesaiannya; dan e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus
pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
untuk ditindaklanjuti. (1) Setiap orang dan atau sekelompok orang yang
memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan
laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM. (2) Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan
apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti
awal yang jelas tentang materi yang diadukan. (3) Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain,
maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya
dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu
berdasarkan pertimbangan Komnas HAM. (4) Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui perwakilan
mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat. (1) Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM
tidak dilakukan dihentikan apabila: a. tidak memiliki bukti awal yang memadai; b. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran
hak asasi manusia; c. pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau
ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu; d. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi
penyelesaian materi pengaduan; atau e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya
hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (2) Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak
melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. (1) Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu,
guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya
penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan
identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang
terkait dengan materi aduan atau pemantauan. (2) Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan
atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh
Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya
tersebut dapat: a. membahayakan
keamanan dan keselamatan negara; b. membahayakan
keselamatan dan ketertiban umum; c. membahayakan
keselamatan perorangan; d. mencemarkan rahasia negara atau hal‑hal
yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah; f. membocorkan hal‑hal yang wajib dirahasiakan
dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana. g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap
masalah yang ada; atau h. membocorkan
hal‑hal yang termasuk dalam rahasia dagang. Pemeriksaan
pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan
lain oleh Komnas HAM. (1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak
lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan
d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM. (2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka
berlaku ketentuan Pasal 95. Apabila seseorang yang
dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas
HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara
paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (1) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM yang ditunjuk
sebagai mediator. (2) Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh para
pihak dan dikukuhkan oleh mediator. (3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku
sebagai alat bukti yang sah. (4) Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan
tersebut, maka pihak lainnya dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri setempat
agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". (5) Pengadilan tidak dapat menolak permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). Komnas HAM wajib
menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya, serta kondisi hak asasi manusia, dan perkara‑perkara yang
ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden
dengan tembusan kepada Mahkamah Agung. Anggaran Komnas HAM
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ketentuan dan tata
cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. PARTISIPASI MASYARAKAT Setiap orang,
kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. Setiap orang,
kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan
atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lambaga
lain yang berwenang dalam rangka perlindungan penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia. Setiap orang,
kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan
mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada
Komnas HAM dan atau lembaga lainnya. Setiap orang,
kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya, baik secara sendiri‑sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas
HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi
mengenai hak asasi manusia. PENGADILAN HAK ASASI
MANUSIA (1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Pengadilan Umum. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk dengan undang‑undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun. (3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus‑kasus pelanggaran hak
asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang
berwenang. (1) Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia
yang diatur dalam peraturan perundang‑undangan lain dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang‑undang ini. (2) Pada saat berlakunya Undang‑undang ini: a. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang‑undang ini; b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM
masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, berdasarkan Undang‑undang
ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan c. semua permasalahan yang sedang ditangani oleh
Komnas HAM tetap dinyatakan penyelesaiannya berdasarkan Undang‑undang
ini. (3) Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Undang‑undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan
wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang‑undang
ini. Undang‑undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‑undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. pada
tanggal 23 September 1999 PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA, BACHARUDDIN
JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakrta pada tanggal 23
September 1999 MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165 UNDANG‑UNDANG
REPUBLIK INDONESIA Bahwa manusia
dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan
kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan
membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya.
Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk
memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk
mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung
jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak‑hak dasar itulah yang
disebut hak asasi menusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak‑hak ini tidak dapat diingkari.
Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan.
Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban
untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali.
Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar
negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek
sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi
oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban
mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi
setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan
demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati,
melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan
penduduknya tanpa diskriminasi. Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut,
tercermin dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945 yang menjiwai
keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan
kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk
beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai
penderitaan, kesegaran dan kesengajaan sosial, yang disebabkan oleh perilaku
tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya,
bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku
tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia,
baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara
atau sebaliknya) maupun horizontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak
sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat
(gross violation of human rights). Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia
Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak
asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan
yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan
pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka
agama beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan
oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum,
pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi,
menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang‑Undang
Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembaga‑lembaga Tinggi Negara
dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat,
seta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa‑Bangsa
tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila dan
Undang‑Undang Dasar 1945. Di samping kedua sumber hukum di atas, pengaturan
mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai
peraturan perundang‑undangan, termasuk undang‑undang yang
menegaskan berbagai konversi internasional mengenai hak asasi manusia. Namun
untuk memayungi seluruh peratuan perundang‑undangan yang sudah ada, perlu
dibentuk Undang‑undang tentang Hak Asasi Manusia. Dasar pemikiran pembentukan Undang‑undang ini
adalah sebagai berikut: a. Tuhan Yang Maha Esa
adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya; b. pada dasarnya,
manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai
kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya; c. untuk melindungi,
mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan
perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan
kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi
serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus); d. karena manusia
merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak
asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah
tanpa batas; e. hak asasi manusia
tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun; f. setiap hak asasi
manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain,
sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar; g. hak asasi manusia
harus benar‑benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu
pemerintah, aparatur negara, dan
pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin
terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia. Dalam Undang‑undang ini, pengaturan mengenai hak
asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa‑Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa‑Bangsa tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan
Bangsa‑Bangsa tentang Hak‑hak Anak, dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang‑undang
ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945. Undang‑undang ini secara rinci mengatur mengenai
hak untuk hidup dan hak untuk tidak kehilangan paksa dan/atau tidak dihilangkan
nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan
hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula
mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam
penegakan hak asasi manusia. Di samping itu, Undang‑undang ini mnengatur mengenai
Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang
mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi
manusia. Dalam Undang‑undang ini, diatur pula tentang
partisipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas pelanggaran hak
asasi manusia, pengajuan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan
dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan, dan
penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia. Undang‑undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah
merupakan payung dari seluruh peraturan perundang‑undangan tentang hak
asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung
atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. II. PASAL DEMI PASAL Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat
dipaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya.
oleh karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah
berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan
moral untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah‑langkah
konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Yang dimaksud dengan "dalam keadaan apapun" termasuk
keadaan perang, sengketa senjata, dan atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan "siapapun" adalah Negara,
Pemerintah dan atau anggota masyarakat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat yang
rentan" antara lain adalah orang lanjut usia, anak‑anak, fakir
miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan
dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan
dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam
masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang‑undangan. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas
budaya nasional masyarakat hukum adat, hak‑hak adat yang masih secara
nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan
dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas‑asas negara hukum
yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Yang dimaksud dengan "upaya hukum" adalah jalan
yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk membela dan
memulihkan hak‑haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti
misalnya, oleh Komnas HAM atau oleh pengadilan, termasuk upaya
untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dan
tingkat banding. Dalam Pasal ini dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan
hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya
hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local
remedies) sebelum menggunakan forum baik di tingkat regional maupun
internasional, kecuali bila tidak mendapatkan tanggapan dari forum hukum
nasional. Yang dimaksud dengan "perlindungan" adalah
termasuk pembelaan hak asasi manusia. Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan
kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan
juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam
hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya
dalam khasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana
mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi
tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk
hidup dapat dibatasi. Yang dimaksud dengan "perkawinan yang
sah" adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‑undangan. Yang dimaksud dengan "kehendak bebas"
adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau
tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri. Yang dimnaksud dengan "seluruh harta kekayaan
milik yang bersalah" adalah harta bukan berasal dari pelanggaran atau
kejahatan. Yang dimaksud dengan "menjadi obyek penelitian"
adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai yang dimintai komentar, pendapat
atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data‑data
pribadinya serta direkam gambar dan suaranya. Yang dimaksud dengan "hak untuk bebas memeluk
agamanya dan kepercayaannya" adalah hak setiap orang untuk beragama
menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga. Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan
politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari suaka. Yang dimaksud "tidak boleh diganggu"
adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat
kediamannya. Yang dimaksud dengan "penghilangan paksa"
dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan
seorang tidak diketahui keberadaan dan kedaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan "Penghilangan
nyawa" adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang‑wenang tidak
berdasarkan putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan "hak milik mempunyai
fungsi sosial" adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus
memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki atau
membutuhkan benar‑benar maka hak milik dapat dicabut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang‑undangan. Yang dimaksud dengan "tidak boleh dihambat"
adalah bahwa setiap orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk menjadi
anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja. Yang dimaksud dengan "berhak atas jaminan sosial"
adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang‑undangan dan kemampuan negara. Yang dimaksud dengan "kemudahan dan perlakuan
khusus" adalah pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas dan
sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan. Yang dimaksud dengan "keterwakilan wanita"
adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk
melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif,
kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender. Yang dimaksud dengan "perlindungan khusus
terhadap fungsi reproduksi" adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan
dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak. Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan hukum
sendiri" adalah cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan
bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan
menggunakan wali. Yang dimaksud dengan "tanggung jawab yang
sama" adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua orang tua dalam
hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik
bagi anak. Yang dimaksud dengan "Kepentingan terbaik bagi
anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi
Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak
Anak). Yang dimaksud dengan "suatu nama" adalah
nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan atau nama
marga. Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau mental
atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu. Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak,
atau dalam hal kematian salah seorang dari orang tuanya, atau dalam hal kuasa
asuh orang tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau
ketidakmampuan orang tuanya. Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata
krama dan budi pekerti. Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi, peredaran, dan perdagangan
sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‑undangan. Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku
terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non‑derogable
rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9. Yang dimaksud dengan "kepentingan bangsa"
adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa. Ketentuan Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak
dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau mendatangkan kerugian pihak
lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang‑undang ini, sehingga
mengakibatkan berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin
oleh Undang‑undang ini. Yang dimaksud dengan "diresmikan oleh
Presiden" adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden
dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM. Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung
seluruh aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat‑syarat
yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh puluh) orang. Keputusan
tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada
yang bersangkutan dan diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna
yang diadakan khusus untuk itu. Yang dimaksud dengan "penyelidikan dan
pemeriksaan" dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data,
informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi
manusia. Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak
asasi manusia dalam masalah publik" antara lain mengenai pertanahan,
ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan "mediasi"
adalah penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar kesepakatan
para pihak. Yang dimaksud dengan "pengaduan melalui perwakilan"
adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak
mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau dasar
kesamaan kepentingan hukumnya. Yang dimaksud dengan "itikad buruk"
adalah perbuatan yang mengandung maksud dan tujaun yang tidak baik, misalnya
pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak benar, dan atau
ditujukan semata‑mata untuk mengakibatkan pencemaran nama baik
perorangan, keresahan kelompok, dan atau masyarakat. Yang dimaksud dengan "tidak ada
kesungguhan" adalah bahwa pengadu benar‑benar tidak bermaksud
menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah 3 (tiga) kali dipanggil tidak
datang tanpa alasan yang sah. Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang‑undangan"
dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 141
ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1)
Reglemen Luar Jawa dan madura. Lembar keputusan asli atau salinan otentik
keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan oleh mediator kepada Panitera
Pengadilan Negeri. Permintaan terhadap keputusan yang dapat
dilaksanakan (fiat eksekusi) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui Komnas
HAM. Apabila pihak yang bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan
yang telah dinyatakan dapat dilaksanakan oleh pengadilan, maka pengadilan wajib
melaksanakan keputusan tersebut. Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan
ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui
pengadilan. Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi
manusia yang berat" adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan
sewenang‑wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial
killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Yang dimaksud dengan "pengadilan yang
berwenang" meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang‑undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana telah diubah dengan Undang‑undang Nomor 35 Tahun 1999. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3886 UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual; b. bahwa
dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan
sektor ekonomi pada khususnya, teknologi mewakili peranan yang sangat penting
artinya dalam usaha peningkatan dan pengembangan industri; c. bahwa
dengan memperhatikan pentingnya peranan teknologi dalam peningkatan dan
pengembangan industri tersebut, diperlukan upaya untuk mewujudkan iklim yang
lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi dan perangkat untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap hasil kegiatan tersebut; d. bahwa
untuk mewujudkan iklim dan perangkat perlindungan hukum sebagaimana tersebut di
atas, dipandang perlu untuk segera menetapkan pengaturan mengenai paten dalam
suatu Undang‑undang; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal
33 ayat (1) dan ayat (2) Undang‑Undang Dasar 1945; 2. asal 16 Undang‑undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3274); DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA Menetapkan : UNDANG‑UNDANG
TENTANG PATEN. Dalam Undang‑undang
ini yang dimaksud dengan: 1. Paten adalah hak khusus yang diberikan Negara
kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya. 2. Penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah
tertentu di bidang teknologi, yang dapat berupa proses atau hasil produksi atau
penyempurnaan dan pengembangan proses atau hasil produksi. 3. Penemu adalah seorang atau beberapa orang
secara bersama‑sama atau badan hukum, yang melaksanakan kegiatan yang
menghasilkan penemuan. 4. Pemegang Paten adalah penemu sebagai pemilik
paten atau orang yang menerima hak tersebut dari pemilik paten atau orang lain
yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atas, yang terdaftar
dalam Daftar Umum Paten. 5. Pemeriksa Paten adalah pejabat yang karena
keahliannya diangkat oleh Menteri dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan
terhadap permintaan paten. 6. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya meliputi pembinaan paten. 7. Kantor Paten adalah unit organisasi di
lingkungan departemen pemerintahan yang melaksanakan tugas dan kewenangan di
bidang paten. Penemuan Yang Dapat
Diberikan Paten (1) Paten diberikan untuk penemuan yang baru,
mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. (2) Suatu penemuan mengandung langkah inventif,
jika penemuan tersebut bagi seorang yang mempunyai keahlian biasa mengenai
teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. (3) Penilaian bahwa suatu penemuan merupakan hal
yang tidak dapat diduga harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada
pada saat diajukan permintaan paten atau yang telah ada pada saat diajukan
permintaan pertama dalam hal permintaan itu diajukan dengan hak prioritas. Suatu penemuan tidak
dianggap baru, jika pada saat pengajuan permintaan paten : a. penemuan tersebut telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam
suatu tulisan yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan seorang ahli untuk
melaksanakan penemuan tersebut; atau b. penemuan tersebut telah diumumkan di Indonesia
dengan penguraian lisan atau melalui peragaan penggunaannya atau dengan cara
lain sedemikian rupa sehingga memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan
penemuan tersebut. Suatu penemuan tidak
dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama enam bulan sebelum
permintaan paten diajukan: a. penemuan itu telah dipertunjukkan dalam suatu
pameran internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui
sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau
diakui sebagai resmi; b. penemuan itu telah digunakan di Indonesia oleh
penemunya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan. Suatu
penemuan dapat diterapkan dalam industri jika penemuan tersebut dapat
diproduksi atau dapat digunakan dalam berbagai jenis industri. Setiap
penemuan berupa benda, alat atau hasil produksi yang baru yang tidak memiliki
kualitas sebagai penemuan tetapi mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan
karena bentuk, konfigurasi, konstruksi atau komposisinya dapat memperoleh
perlindungan hukum dalam bentuk Paten Sederhana atas penemuan yang sederhana
tersebut. Penemuan Yang Tidak Dapat
Diberikan Paten Paten tidak diberikan untuk
: a. penemuan tentang proses atau hasil produksi
yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan
peraturan perundang‑undangan yang berlaku, ketertiban umum atau
kesusilaan; b. penemuan tentang proses atau hasil produksi
makanan dan minuman, termasuk hasil produksi berupa bahan yang dibuat melalui
proses kimia dengan tujuan untuk membuat makanan dan minuman guna dikonsumsi
manusia dan atau hewan; c. penemuan tentang jenis atau varitas baru
tanaman atau hewan, atau tentang proses apapun yang dapat digunakan bagi
pembiakan tanaman atau hewan beserta hasilnya; d. penemuan tentang metoda pemeriksaan, perawatan,
pengobatan dan pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan, tetapi
tidak menjangkau produk apapun yang digunakan atau berkaitan dengan metoda
tersebut; e. penemuan tentang teori dan metoda di bidang
ilmu pengetahuan dan matematika. (1) Dengan Keputusan Presiden dapat ditetapkan
bahwa penemuan tertentu baik yang berupa proses maupun hasil produksi ditunda
pemberian patennya dalam jangka waktu paling lama lima tahun, dengan ketentuan bahwa penetapan
tersebut tidak berlaku terhadap : a. penemuan yang pada saat itu telah memperoleh
atau diberi paten; b. penemuan yang pada saat dikeluarkannya
Keputusan Presiden dapat dimintakan paten berdasarkan hak prioritas. (2) Setelah berakhirnya jangka waktu penundaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), permintaan paten langsung diumumkan dan
pemeriksaan substantif dilakukan setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman
sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini. (1) Paten diberikan untuk jangka waktu selama
empat belas tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permintaan paten. (2) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu
paten dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Paten
Sederhana diberikan untuk jangka waktu selama lima tahun terhitung sejak tanggal
diberikannya Surat Paten Sederhana. (1) Yang berhak memperoleh paten adalah penemu
atau yang menerima lebih lanjut hak penemu itu. (2) Jika suatu penemuan dihasilkan oleh beberapa
orang secara bersama‑sama maka yang menerima lebih lanjut hak mereka,
secara bersama‑sama berhak atas penemuan tersebut. (1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap
sebagai penemu adalah mereka yang untuk pertama kali mengajukan permintaan
paten. (2) Mereka yang mengajukan permintaan paten
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diberikan paten, jika isi
permintaannya memuat salinan yang diambil dari uraian dan atau gambar mengenai
penemuan orang lain yang sedang dimintakan atau telah memperoleh paten. (1) Kecuali diperjanjikan lain dalam suatu
perjanjian kerja maka yang berhak memperoleh paten atas suatu penemuan yang
dihasilkan adalah orang 9 yang memberi pekerjaan itu. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) juga berlaku terhadap penemuan yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun
pekerja yang menggunakan data dan sarana yang tersedia dalam pekerjaannya,
sekalipun perjanjian kerja itu tidak mengharuskannya untuk menghasilkan
penemuan. (3) Penemu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) berhak untuk mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan
manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari penemuan tersebut. (4) Imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat dibayarkan: a. dalam jumlah tertentu dan sekaligus; atau c. gabungan antara
jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus; atau d. gabungan antara
prosentase dengan hadiah atau bonus; yang besarnya ditetapkan sendiri oleh
pihak‑pihak yang bersangkutan. (5) Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai
cara perhitungan dan penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu dimintakan
kepada Pengadilan Negeri setempat. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) sama sekali tidak menghapuskan hak penemu untuk
tetap dicantumkan namanya dalam surat
pemberian paten. (1) Seseorang yang melaksanakan suatu penemuan
pada saat atas penemuan serupa dimintakan paten, tetap berhak melaksanakan
penemuan tersebut sebagai penemu terdahulu, sekalipun terhadap penemuan yang
serupa tersebut kemudian diberi paten. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) juga berlaku terhadap permintaan paten yang diajukan dengan hak prioritas. Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak berlaku bilamana orang yang
melaksanakan penemuan tersebut melakukannya dengan menggunakan pengetahuan
tentang penemuan tersebut dari uraian, gambar, contoh atau keterangan lainnya
dari penemuan yang dimintakan paten. (1) Seseorang yang melaksanakan suatu penemuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dapat diakui sebagai penemu terdahulu
apabila setelah diberikannya paten terhadap penemuan yang serupa ia mengajukan
permintaan untuk itu kepada Kantor Paten. (2) Permintaan pengakuan sebagai penemu
terdahulu wajib disertai bukti bahwa pelaksanaan penemuan tersebut tidak
dilakukan dengan menggunakan uraian, gambar, contoh atau keterangan lainnya
dari penemuan yang dimintakan paten. (3) Pengakuan sebagai penemu terdahulu diberikan
oleh Kantor Paten dalam bentuk Surat Keterangan Penemu Terdahulu dengan
membayar biaya untuk itu. (4) Surat Keterangan Penemu Terdahulu berakhir
pada saat yang bersamaan dengan saat berakhirnya paten atas penemuan yang
serupa tersebut. Hak dan Kewajiban Pemegang
Paten Pemegang Paten memiliki
hak khusus untuk melaksanakan secara perusahaan atas patennya baik secara
sendiri maupun dengan memberikan persetujuan kepada orang lain, yaitu: a. membuat, menjual, menyewakan, menyerahkan,
memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan hasil produksi
yang diberi paten; b. menggunakan proses produksi yang diberi paten
untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pemegang Paten wajib
melaksanakan patennya di wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk
pengelolaan kelangsungan berlakunya paten dan pencatatan lisensi, Pemegang
Paten atau Pemegang Lisensi suatu paten wajib membayar biaya pemeliharaan yang
disebut biaya tahunan. Pengecualian Terhadap
Pelaksanaan dan Pelanggaran Paten Impor
atas hasil produksi yang diberi paten atau dibuat dengan proses yang diberi
paten tidak merupakan pelaksanaan paten. Impor
atas hasil produksi yang diberi paten atau dibuat dengan proses yang diberi
paten atau padanannya, yang dilakukan oleh orang selain Pemegang Paten tidak
merupakan pelanggaran atas paten yang bersangkutan, kecuali dalam hal‑hal
tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pemakaian
penemuan baik yang berupa proses maupun hasil produksi, penjualan, penyewaan
atau penyerahan hasil pemakaian penemuan yang telah berlangsung pada saat atau
sebelum diberikannya paten untuk penemuan yang bersangkutan, tidak merupakan
pelanggaran terhadap paten tersebut. Paten diberikan atas dasar
permintaan. Setiap permintaan paten
hanya dapat diajukan untuk satu penemuan. Permintaan paten diajukan
dengan membayar biaya kepada Kantor Paten yang besarnya ditetapkan Menteri. (1) Apabila permintaan paten diajukan oleh orang
yang bukan penemu, permintaan tersebut harus disertai pernyataan yang
dilengkapi bukti yang cukup bahwa ia berhak atas penemuan yang bersangkutan. (2) Kantor Paten wajib mengirimkan salinan
pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada penemu. (3) Penemu dapat meneliti surat permintaan paten yang diajukan oleh
orang yang bukan penemu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan atas biayanya
sendiri dapat meminta salinan dokumen permintaan tersebut. (1) Permintaan paten dapat diajukan melalui
Konsultan Paten di Indonesia
selaku kuasa, kecuali dalam hal tertentu yang diatur lain dalam Undang‑undang
ini. (2) Konsultan Paten sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah konsultan yang telah terdaftar dalam Daftar Konsultan Paten di
Kantor Paten. (3) Terhitung sejak tanggal penerimaan kuasa,
Konsultan Paten berkewajiban menjaga kerahasiaan penemuan dan seluruh dokumen
permintaan paten, sampai dengan tanggal diumumkannya permintaan paten yang
bersangkutan. (4) Ketentuan mengenai syarat‑syarat untuk
dapat didaftar sebagai Konsultan Paten, diatur dengan Peraturan Pemerintah. (1) Permintaan paten yang diajukan oleh penemu
atau yang berhak atas penemuan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan
tetap di wilayah Negara Republik Indonesia harus diajukan melalui
Konsultan Paten di Indonesia selaku kuasa. (2) Penemu atau yang berhak atas penemuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyatakan dan memilih tempat tinggal
atau kedudukan hukum di Indonesia
untuk kepentingan permintaan paten tersebut. (1) Permintaan paten yang diajukan dengan
menggunakan hak prioritas sebagaimana diatur dalam konvensi internasional
mengenai perlindungan paten yang diikuti oleh Negara Republik Indonesia, harus diajukan dalam
waktu dua belas bulan terhitung sejak tanggal permintaan paten yang pertama
kali diterima di negara manapun yang juga ikut serta dalam konvensi tersebut. (2) Dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang‑undang
ini mengenai syarat‑syarat yang harus dipenuhi dalam surat permintaan
paten, permintaan paten dengan hak prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib dilengkapi dengan salinan surat permintaan paten yang pertama kali
yang disahkan oleh pihak yang berwenang di negara yang bersangkutan dalam waktu
enam bulan terhitung sejak tanggal surat permintaan tersebut, dengan ketentuan
bahwa seluruhnya tidak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1). (3) Apabila syarat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, permintaan paten tidak dapat diajukan
dengan menggunakan hak prioritas. (1) Permintaan paten diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia kepada Kantor Paten. (2) Surat
permintaan paten harus memuat: a. tanggal, bulan dan tahun surat permintaan; b. alamat lengkap dan jelas
orang yang mengajukan permintaan termaksud huruf a; c. nama lengkap dan
kewarganegaraan penemu; d. dalam hal permintaan
diajukan orang lain selaku kuasa dilengkapi pula nama lengkap dan alamat
lengkap kuasa yang bersangkutan; e. surat kuasa khusus, dalam hal permintaan
diajukan oleh kuasa; f. permintaan untuk diberi
paten; h. klaim yang terkandung
dalam penemuan; i. deskripsi tertulis
tentang penemuan, yang secara lengkap memuat keterangan tentang cara
melaksanakan penemuan; j. gambar yang disebut dalam
deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas; k. abstraksi mengenai
penemuan. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan
pengajuan permintaan paten diatur oleh Menteri. Permintaan Paten Dengan Hak
Prioritas (1) Selain salinan surat permintaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), Kantor Paten dapat meminta agar permintaan
paten yang diajukan dengan menggunakan hak prioritas tersebut dilengkapi pula
dengan : a. salinan yang sah
surat‑surat yang bertahan dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan
terhadap permintaan paten yang pertama kali di luar negeri; b. salinan yang sah
dokumen paten yang telah diberikan sehubungan dengan permintaan yang pertama
kali di luar negeri; c. salinan yang sah
keputusan mengenai penolakan atas permintaan paten yang pertama kali di luar
negeri bilamana permintaan tersebut ditolak; d. salinan yang sah
keputusan pembatalan paten yang bersangkutan yang pernah dikeluarkan di luar
negeri, bilamana paten tersebut pernah dibatalkan; e. lain‑lain
dokumen yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa penemuan yang
dimintakan paten memang merupakan penemuan yang baru dan benar‑benar
mengandung langkah yang inventif. (2) Penyampaian salinan dokumen‑dokumen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai tambahan penjelasan secara
terpisah oleh orang yang mengajukan permintaan paten. Ketentuan
lebih lanjut mengenai permintaan paten yang diajukan dengan hak prioritas
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Waktu Penerimaan Permintaan
Paten (1) Permintaan paten dianggap diajukan pada
tanggal penerimaan surat
permintaan paten oleh Kantor paten, setelah diselesaikannya pembayaran biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (2) Tanggal penerimaan permintaan paten adalah
tanggal pada saat Kantor Paten menerima surat permintaan paten yang telah
memenuhi syarat‑syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan dalam hal
permintaan paten berdasarkan hak prioritas telah pula memenuhi syarat‑syarat
yang ditentukan dalam Pasal 29 dan Pasal 31. (3) Tanggal penerimaan surat permintaan paten dicatat secara khusus
oleh Kantor Paten. (1) Apabila ternyata terdapat kekurangan
pemenuhan syarat‑syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Kantor Paten
meminta agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu tiga bulan terhitung
sejak tanggal pengiriman surat permintaan pemenuhan kekurangan tersebut oleh
Kantor Paten. (2) Berdasarkan alasan yang disetujui Kantor
Paten, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang
untuk paling lama tiga bulan atas permintaan orang yang mengajukan permintaan
paten. Dalam hal terdapat
kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, tanggal penerimaan permintaan
paten adalah tanggal diterimanya pemenuhan terakhir kekurangan tersebut oleh
Kantor Paten. Apabila kekurangan tidak
dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Kantor Paten
memberitahukan secara tertulis kepada orang yang mengajukan permintaan paten
bahwa permintaan paten dianggap ditarik kembali. Apabila selama pemeriksaan
awal ditemukan adanya dua atau lebih permintaan paten untuk penemuan yang sama
dan salah satu diantaranya diajukan dengan hak prioritas oleh orang yang sama
pula, Kantor Paten berhak menolak permintaan tersebut atas dasar alasan bahwa
untuk satu penemuan hanya dapat diajukan satu permintaan paten. (1) Apabila untuk satu penemuan yang sama
ternyata diajukan lebih dari satu permintaan paten oleh orang yang berbeda,
hanya permintaan yang diajukan pertama atau terlebih dahulu yang dapat
diterima. (2) Apabila permintaan paten sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan pada tanggal yang sama, maka Kantor Paten
minta dengan surat kepada orang‑orang yang
mengajukan permintaan tersebut untuk berunding guna memutuskan permintaan mana
yang diajukan dan menyampaikan hasil keputusan itu kepada Kantor Paten selambat‑lambatnya
enam bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat tersebut. (3) Apabila tidak tercapai persetujuan atau
keputusan diantara orang‑orang yang mengajukan permintaan paten atau
tidak dimungkinkan dilakukannya perundingan atau hasil perundingan tidak
disampaikan kepada Kantor Paten dalam waktu yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka permintaan paten tersebut ditolak dan Kantor
Paten memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada orang‑orang yang
mengajukan permintaan paten tersebut. Perubahan Permintaan Paten (1) Permintaan paten dapat diubah dengan
ketentuan bahwa perubahan tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang
telah diajukan dalam permintaan semula. (2) Perubahan permintaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan permintaan
semula. (1) Perubahan permintaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 dapat diajukan secara terpisah dalam satu permintaan atau lebih,
tetapi dengan ketentuan bahwa lingkup perlindungan yang dimintakan dalam setiap
permintaan tersebut tidak melebihi lingkup perlindungan yang diajukan dalam
permintaan semula. (2) Dalam hal perubahan tersebut berupa
pemecahan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), permintaan tersebut
dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pengajuan permintaan
semula. Penarikan Kembali
Permintaan Paten (1) Surat
permintaan paten dapat ditarik kembali dengan mengajukan secara tertulis kepada
Kantor Paten. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan
kembali surat
permintaan paten diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perpanjangan Jangka Waktu
Paten Atas permintaan Pemegang
Paten, jangka waktu paten dapat diperpanjang satu kali untuk selama dua tahun. (1) Permintaan perpanjangan jangka waktu paten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. permintaan harus
diajukan secara tertulis dalam waktu tidak lebih dari dua belas bulan dan
sekurang‑kurangnya enam bulan sebelum jangka waktu paten berakhir; b. Pemegang Paten harus
menyampaikan bukti yang meyakinkan Kantor Paten, bahwa : 1. Penghasilan
yang diperoleh dari pelaksanaan paten belum dapat menutup seluruh biaya
kegiatan penelitian dan pengembangan yang menghasilkan penemuan yang diberi
paten tersebut; 2. paten tersebut telah
secara terus menerus dilaksanakan secukupnya di Indonesia
dan akan terus dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia
ataupun untuk keperluan ekspor. (2) Keputusan tentang persetujuan atau penolakan
atas permintaan perpanjangan jangka waktu paten tersebut disampaikan secara
tertulis kepada Pemegang Paten. (3) Dalam hal permintaan tersebut ditolak, maka
alasan penolakan dijelaskan dalam surat
pemberitahuan. Keputusan
tentang persetujuan atau penolakan permintaan perpanjangan jangka waktu paten
dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Larangan Mengajukan
Permintaan Paten dan Kewajiban Menjaga
Kerahasiaan Selama
masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau
berhenti karena sebab apapun dari Kantor Paten, pegawai Kantor Paten atau orang
yang karena penugasannya bekerja untuk dan atas nama Kantor Paten, dilarang
mengajukan permintaan paten, memperoleh paten atau dengan cara apapun
memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan dengan paten kecuali bila
pemilikan paten itu diperoleh karena warisan. Terhitung
sejak tanggal penerimaan surat
permintaan paten, seluruh aparat Kantor Paten berkewajiban menjaga kerahasiaan
penemuan dan seluruh dokumen permintaan paten, sampai dengan tanggal
diumumkannya permintaan paten yang bersangkutan. Pengumuman Permintaan Paten (1) Kantor Paten mengumumkan permintaan paten
yang telah memenuhi ketentuan Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 serta permintaan
tidak ditarik kembali. (2) Pengumuman dilakukan selambat‑lambatnya: a. enam bulan setelah
tanggal penerimaan permintaan paten; b. dua belas bulan
setelah tanggal penerimaan permintaan paten yang pertama kali, dalam hal
permintaan paten dengan hak prioritas. (1) Pengumuman berlangsung selama enam bulan dan
dilakukan dengan: a. menempatkan pada
papan pengumuman yang khusus disediakan untuk itu dan dapat dengan mudah serta
jelas dilihat oleh masyarakat, dan b. menempatkannya dalam
Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara berkala oleh Kantor Paten. (2) Tanggal mulai diumumkannya permintaan paten
dicatat oleh Kantor Paten dalam daftar pengumuman. Pengumuman dilakukan dengan
mencantumkan: a. nama dan alamat lengkap penemu atau yang berhak
atas penemuan dan kuasa apabila permintaan diajukan melalui kuasa; b. jumlah permintaan paten; d. tanggal pengajuan permintaan paten atau dalam
hal permintaan paten dengan hak prioritas : tanggal, nomor dan negara dimana
permintaan paten yang pertama kali diajukan; Kantor
Paten menyediakan tempat yang khusus untuk memberikan kesempatan kepada anggota
masyarakat yang berkepentingan untuk melihat dokumen permintaan paten yang
diumumkan. (1) Selama jangka waktu pengumuman, setiap orang
setelah melihat pengumuman permintaan paten dapat mengajukan secara tertulis
pandangan atau keberatannya atas permintaan yang bersangkutan dengan
mencantumkan alasannya. (2) Dalam hal terdapat pandangan atau keberatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kantor Paten segera mengirimkan salinan surat yang berisikan
pandangan atau keberatan tersebut kepada orang yang mengajukan permintaan
paten. (3) Orang yang mengajukan permintaan paten
berhak mengajukan secara tertulis sanggahan dan penjelasan terhadap pandangan
atau keberatan tersebut kepada Kantor Paten. (4) Kantor Paten menggunakan pandangan atau
keberatan, sanggahan dan penjelasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (3) sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan atas
permintaan paten yang bersangkutan. (1) Dengan persetujuan Menteri, Kantor Paten
dapat menetapkan untuk tidak mengumumkan sesuatu permintaan paten, apabila
menurut pertimbangannya penemuan tersebut dan pengumumannya diperkirakan akan
dapat mengganggu atau bertentangan dengan kepentingan pertahanan keamanan
Negara. (2) Ketetapan untuk tidak mengumumkan permintaan
paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh
Kantor Paten kepada orang yang mengajukan permintaan paten, dengan tembusan
kepada penemu atau yang berhak atas penemuan apabila permintaan paten diajukan
oleh kuasanya. (3) Terhadap permintaan paten yang tidak
diumumkan, tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan
Pasal 49. (4) Konsultasi yang dilakukan Kantor Paten
dengan instansi Pemerintah lainnya, termasuk penyampaian informasi mengenai
penemuan yang dimintakan paten, yang kemudian berakhir dengan ketetapan tidak
diumumkannya permintaan paten, tidak dianggap sebagai pelanggaran kewajiban
untuk menjaga kerahasiaan penemuan dan dokumen permintaan paten yang
bersangkutan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) tidak mengurangi kewajiban instansi Pemerintah yang bersangkutan beserta
aparatnya untuk tetap menjaga kerahasiaan penemuan dan dokumen permintaan paten
yang dikonsultasikan kepadanya terhadap pihak ketiga manapun. (1) Terhadap permintaan paten yang tidak
diumumkan, dilakukan pemeriksaan mengenai dapat diberi atau tidak dapat
diberikannya paten, apabila : a. telah lewat waktu
enam bulan terhitung mulai tanggal penetapan Kantor Paten mengenai tidak
diumumkannya permintaan paten yang bersangkutan; b. permintaan paten
tersebut tidak ditarik kembali. (2) Pemeriksaan terhadap permintaan paten
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah tanpa membebani
biaya pemeriksaan kepada orang yang mengajukan permintaan paten. Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyelenggaraan pengumuman diatur oleh Menteri. (1) Permintaan pemeriksaan atas permintaan paten
harus diajukan kepada Kantor Paten secara tertulis dan dengan membayar biaya
yang besarnya ditetapkan oleh Menteri. (2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah pemeriksaan yang bersifat substantif. (3) Bentuk dan syarat‑syarat permintaan
pemeriksaan diatur lebih lanjut oleh Menteri. (1) Permintaan untuk dilakukannya pemeriksaan
substantif harus diajukan paling lambat dalam waktu tiga puluh enam bulan sejak
tanggal penerimaan permintaan paten, tetapi tidak lebih awal dari tanggal
berakhirnya pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. (2) Apabila permintaan pemeriksaan tidak
dilakukan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lewat, atau
biaya untuk itu tidak dibayar, permintaan paten dianggap telah ditarik kembali. (3) Kantor Paten memberitahukan secara tertulis
anggapan mengenai ditariknya kembali permintaan paten tersebut kepada orang
yang mengajukan permintaan paten, dengan tembusan kepada penemu atau yang
berhak atas penemuan apabila permintaan paten diajukan oleh kuasanya. Dengan
tidak mengurangi seluruh ketentuan terdahulu mengenai pemeriksaan, terhadap
permintaan paten yang tidak diumumkan tidak berlaku ketentuan Pasal 51. (1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif,
Kantor Paten dapat meminta bantuan ahli dan atau menggunakan fasilitas yang
diperlukan kepada instansi Pemerintah lainnya. (2) Penggunaan bantuan ahli dan atau fasilitas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan penemuan yang dimintakan
paten. (1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh
Pemeriksa Paten pada Kantor Paten atau instansi Pemerintah lainnya yang
memiliki kualifikasi sebagai Pemeriksa Paten. (2) Pemeriksa Paten berkedudukan sebagai pejabat
fungsional dan diangkat oleh Menteri berdasarkan syarat‑syarat tertentu. (3) Kepada Pemeriksa Paten diberikan jenjang dan
tunjangan fungsional disamping hak lainnya sesuai dengan peraturan perundang‑undangan
yang berlaku. (1) Dalam hal Pemeriksa Paten melaporkan bahwa
penemuan yang dimintakan paten ternyata mengandung ketidak‑jelasan atau
kekurangan lain yang dinilai penting, Kantor Paten memberitahukan secara
tertulis hasil pemeriksaan tersebut kepada orang yang mengajukan permintaan
paten. (2) Pemberitahuan hasil pemeriksaan harus secara
jelas dan rinci mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain
yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan atau referensi yang
digunakan dalam pemeriksaan serta pendapat dan saran kepada orang yang
mengajukan permintaan paten termasuk kemungkinan perubahan atau perbaikan yang
perlu dilakukannya, berikut jangka waktu pemenuhannya. (3) Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) orang yang mengajukan permintaan paten tidak memberikan
penjelasan atau memenuhi kekurangan termasuk melakukan perbaikan atau perubahan
terhadap permintaan yang telah diajukannya dalam waktu yang ditentukan, Kantor
Paten menolak permintaan paten tersebut. Pemberian atau Penolakan Permintaan
Paten Kantor
Paten berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui permintaan paten dan
dengan demikian memberi paten, atau menolaknya, dalam waktu selambat‑lambatnya
dua puluh empat bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pemeriksaan substantif. (1) Apabila hasil pemeriksaan yang dilakukan
oleh Pemeriksa Paten menunjukkan bahwa penemuan yang dimintakan paten tidak
memenuhi ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 5, Kantor Paten menolak
permintaan paten tersebut dan memberitahukannya secara tertulis kepada orang
yang mengajukan permintaan paten. (2) Dalam hal permintaan paten diajukan oleh
kuasa, maka salinan surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan pula kepada penemu
atau yang berhak atas penemuan tersebut. (3) Surat
pemberitahuan yang berisikan penolakan permintaan paten harus dengan jelas
mencantumkan pula alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan. Di samping ketentuan Pasal
62, permintaan paten juga ditolak apabila penemuan tersebut dan pelaksanaannya
bertentangan dengan peraturan perundang‑undangan, ketertiban umum serta
kesusilaan. (1) Apabila laporan tentang hasil pemeriksaan
atas penemuan yang dimintakan paten yang dilakukan Pemeriksa Paten menyimpulkan
bahwa penemuan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 dan
ketentuan lain dalam Undang‑undang ini, Kantor Paten memberikan secara
resmi Surat Paten untuk penemuan yang bersangkutan kepada orang yang mengajukan
permintaan paten atau dalam hal permintaan paten diajukan oleh kuasa maka
salinan Surat Paten tersebut diberikan pula kepada penemu atau yang berhak atas
penemuan tersebut. (2) Paten yang telah diberikan dicatat dalam
Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. (3) Kantor Paten dapat memberikan salinan
dokumen paten kepada anggota masyarakat yang memerlukan dengan membayar biaya
salinan dokumen yang besarnya ditetapkan oleh Menteri. (1) Surat Paten merupakan bukti pemberian paten
oleh Kantor Paten dan dicatat dalam Buku Daftar Umum Paten. (2) Surat
yang berisikan penolakan permintaan paten, dicatat dalam Buku Resmi Paten yang
mencatat permintaan paten yang bersangkutan. (3) Pemberian Surat Paten dan penolakan
permintaan paten diumumkan oleh Kantor Paten dengan cara yang sama seperti
halnya pengumuman permintaan paten. Paten
mulai berlaku pada tanggal diberikan dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan
permintaan paten. (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
Surat Paten, berikut bentuk dan isinya diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Ketentuan lain mengenai pencatatan dan
permintaan salinan dokumen paten diatur oleh Menteri. (1) Permintaan banding dapat diajukan terhadap
penolakan permintaan paten yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan
mengenai hal‑hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (1). (2) Permintaan banding diajukan secara tertulis
oleh orang yang mengajukan permintaan paten atau kuasanya kepada Komisi Banding
Paten, dengan tembusan yang disampaikan kepada Kantor Paten. (3) Komisi Banding Paten adalah badan khusus
yang diketuai secara tetap oleh seorang ketua merangkap anggota dan berada di
lingkungan departemen yang dipimpin Menteri. (4) Anggota Komisi Banding Paten berjumlah gajil
sekurang‑kurangnya tiga orang, terdiri dari beberapa ahli di bidang yang
diperlukan dan pemeriksa paten senior yang tidak melakukan pemeriksaan
substantif terhadap permintaan paten yang bersangkutan. (5) Ketua dan anggota Komisi Banding Paten
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. (1) Permintaan banding diajukan dengan
menguraikan secara lengkap keberatan terhadap penolakan permintaan paten
berikut alasannya. (2) Alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus tidak merupakan alasan atau penjelasan atau bukti yang baru atau
merupakan perbaikan atau penyempurnaan permintaan paten yang ditolak. (1) Permintaan banding harus diajukan selambat‑lambatnya
dalam waktu tiga bulan terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan penolakan permintaan
paten. (2) Apabila jangka waktu permintaan banding
tersebut telah lewat tanpa adanya permintaan banding, maka penolakan permintaan
paten dianggap diterima oleh orang yang mengajukan permintaan paten. (3) Dalam hal penolakan permintaan paten telah
dapat dianggap diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Kantor Paten
mencatatnya dalam Buku Resmi Paten. (1) Keputusan Komisi Banding Paten atas
permintaan banding diberikan selambat‑lambatnya dua belas bulan sejak
tanggal penerimaan permintaan banding. (2) Keputusan Komisi Banding Paten bersifat
final. (3) Dalam hal Komisi Banding Paten menerima
permintaan banding, Kantor Paten memberikan Surat Paten sebagaimana diatur
dalam Undang‑ undang ini. (4) Apabila Komisi Banding Paten menolak
permintaan banding, Kantor Paten segera memberitahukan penolakan tersebut. Susunan
organisasi, tata kerja Komisi Banding Paten, tata cara permintaan dan
pemeriksaan banding serta penyelesaiannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. (1) Paten atau pemilikan paten dapat beralih
atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena: d. perjanjian, dengan
ketentuan bahwa perjanjian itu harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris; e. sebab‑sebab lain
yang dibenarkan oleh Undang‑undang. (2) Pengalihan paten sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a, b dan c, harus disertai dengan dokumen paten berikut hak lain
yang berkaitan dengan paten itu. (3) Segala bentuk pengalihan paten sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada Kantor Paten dan dicatat dalam
Daftar Umum Paten dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh Menteri. (4) Pelaksanaan pengalihan yang tidak sesuai
dengan ketentuan pasal ini adalah tidak sah dan tidak berlaku. (5) Syarat dan tata cara pendaftaran dan
pencatatan pengalihan paten diatur lebih lanjut oleh Menteri. (1) Kecuali dalam hal pewarisan dan dalam hal pemindahan
atau pengalihan yang dilakukan bersamaan dengan sebagian atau seluruh usahanya,
hak sebagai penemu terdahulu tidak dapat dipindahkan atau dialihkan kepada
orang lain. (2) Pemindahan atau pengalihan hak sebagai
penemu terdahulu wajib didaftarkan pada Kantor Paten, yang selanjutnya
mencatatnya dalam Daftar Umum Paten. (3) Kantor Paten mengumumkan pemindahan atau
pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam Berita Resmi Paten. Peralihan pemilikan paten
tidak menghapus hak penemu untuk tetap dicantumkan nama dan identitas lainnya
dalam paten yang bersangkutan (1) Pemegang Paten berhak memberi lisensi kepada
orang lain berdasarkan surat
perjanjian lisensi untuk, melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17. (2) Kecuali jika diperjanjikan lain, maka
lingkup lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi semua perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, berlangsung selama jangka waktu lisensi
diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Kecuali jika diperjanjikan
lain, maka Pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberi lisensi
kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17. (1) Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan
yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan
perekonomian Indonesia atau
memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan
mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan penemuan yang
diberi paten tersebut pada khususnya. (2) Pendaftaran dan permintaan pencatatan
perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus ditolak oleh Kantor Paten. (1) Perjanjian lisensi wajib didaftarkan pada
Kantor Paten dan dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan membayar biaya yang
besarnya ditetapkan oleh Menteri. (2) Syarat dan tatacara pendaftaran dan
pencatatan perjanjian lisensi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan
lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Lisensi
Wajib adalah lisensi untuk melaksanakan suatu paten yang diberikan oleh
Pengadilan Negeri setelah mendengar Pemegang Paten yang bersangkutan. (1) Setiap orang setelah lewat jangka waktu tiga
puluh enam bulan terhitung sejak tanggal pemberian paten, dapat mengajukan
permintaan Lisensi Wajib kepada Pengadilan Negeri untuk melaksanakan paten yang
bersangkutan. (2) Permintaan Lisensi Wajib sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan alasan bahwa paten yang
bersangkutan tidak dilaksanakan di Indonesia oleh Pemegang Paten
padahal kesempatan untuk melaksanakannya secara komersial sepatutnya ditempuh. (3) Dengan memperhatikan kemampuan dan
perkembangan keadaan, Pemerintah dapat menetapkan bahwa pada tahap awal
pelaksanaan Undang‑undang ini permintaan Lisensi Wajib diajukan kepada
Pengadilan Negeri tertentu. (1) Selain kebenaran alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 82 ayat (2), Lisensi Wajib hanya dapat diberikan apabila: a. orang yang mengajukan
permintaan tersebut dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia : 1) mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan secara penuh. 2) mempunyai
sendiri fasilitas untuk melaksanakan paten yang bersangkutan secepatnya. b. Pengadilan Negeri
berpendapat bahwa paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam
skala ekonomi yang layak dan dapat memberi kemanfaatan kepada sebagian besar
masyarakat. (2) Pemeriksaan atas permintaan Lisensi Wajib
dilakukan oleh Pangadilan Negeri dalam suatu persidangan dengan mendengarkan
pula pendapat ahli dari Kantor Paten dan Pemegang Paten yang bersangkutan. (3) lisensi Wajib diberikan untuk jangka waktu
yang tidak lebih lama dari jangka waktu pelaksanaan paten yang diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Apabila
berdasarkan bukti serta pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Pengadilan
Negeri memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82 belum cukup bagi Pemegang Paten untuk melaksanakannya secara komersial di
Indonesia, Pengadilan Negeri dapat menetapkan penundaan untuk sementara waktu
proses persidangan tersebut atau menolaknya. (1) Pelaksanaan Lisensi Wajib disertai dengan
pemberian pembayaran royalti oleh Pemegang Lisensi Wajib kepada Pemegang Paten. (2) Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan
cara pembayarannya, ditetapkan Pengadilan Negeri yang memberikan Lisensi Wajib. (3) Penetapan besarnya royalti dilakukan dengan
memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian lisensi paten
atau yang lainnya yang sejenis. Dalam putusan Pengadilan
Negeri mengenai pemberian Lisensi Wajib dicantumkan hal‑hal sebagai
berikut : a. alasan pemberian Lisensi Wajib; b. bukti termasuk keterangan atau penjelasan yang
diyakini untuk dijadikan dasar pemberian Lisensi Wajib; c. jangka waktu Lisensi Wajib; d. besarnya royalti yang harus dibayarkan Pemegang
Lisensi Wajib kepada Pemegang Paten dan cara pembayarannya; e. syarat berakhirnya Lisensi Wajib dan hal yang
dapat membatalkannya; f. lain‑lain yang diperlukan untuk menjaga
kepentingan para pihak yang bersangkutan secara adil. (1) Pemegang lisensi Wajib berkewajiban mendaftarkan lisensi Wajib yang diterimanya
pada Kantor Paten dan dicatat dalam Daftar Umum Paten. (2) Lisensi Wajib yang telah didaftarkan
secepatnya diumumkan oleh Kantor Paten dalam Berita Resmi Paten. (3) Atas pendaftaran Lisensi Wajib dikenakan
biaya yang besarnya ditetapkan Menteri. (4) Lisensi Wajib baru dapat dilaksanakan
setelah didaftarkan dan dibayarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Pelaksanaan Lisensi Wajib dianggap sebagai
pelaksanaan paten. (1) Lisensi Wajib dapat pula sewaktu‑waktu
dimintakan oleh Pemegang Paten atas dasar alasan bahwa pelaksanaan patennya
tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar paten lainnya yang telah ada. (2) Permintaan Lisensi Wajib sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dipertimbangkan apabila paten yang akan
dilaksanakan benar‑benar mengandung unsur pembaharuan teknologi yang
nyata‑nyata lebih maju daripada paten yang telah ada tersebut. (3) Ketentuan mengenai pengajuan permintaan
kepada Pengadilan Negeri, pembayaran royalti, isi putusan pengadilan,
pendaftaran dan pencatatan, serta jangka waktu atau pembatalan Lisensi Wajib
yang diatur dalam Bagian Ketiga Bab ini berlaku pula dalam hal permintaan
Lisensi Wajib sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), kecuali
ketentuan mengenai jangka waktu pengajuan permintaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 82 ayat (1). (1) Atas permintaan Pemegang Paten, Pengadilan
Negeri dapat membatalkan Lisensi Wajib yang semula diberikannya apabila: a. alasan yang dijadikan
dasar bagi pemberian Lisensi Wajib tidak ada lagi; b. penerima Lisensi
Wajib ternyata tidak melaksanakan Lisensi Wajib tersebut atau tidak melakukan
usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya; c. penerima Lisensi
Wajib tidak lagi menaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk kewajiban
pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian Lisensi Wajib. (2) Dalam hal Pengadilan Negeri memutuskan
pembatalan Lisensi Wajib, selambat‑lambatnya empat belas hari sejak
tanggal putusan Pengadilan Negeri wajib menyampaikan salinan putusan tersebut
kepada Kantor Paten untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam
Berita Resmi Paten. (3) Kantor Paten wajib memberitahukan pencatatan
dan pengumuman Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada
Pemegang Paten, Pemegang Lisensi Wajib yang dibatalkan dan Pengadilan Negeri
yang memutuskan pembatasan tersebut selambat‑lambatnya empat betas hari
sejak Kantor Paten menerima salinan putusan Pengadilan Negeri tersebut. (1) Lisensi Wajib berakhir dengan selesainya
jangka waktu yang ditetapkan dalam pemberiannya, dibatalkan atau dalam hal
Pemegang Linsesi wajib menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya kepada
Kantor Paten sebelum jangka waktu tersebut berakhir. (2) Kantor Paten mencatat Lisensi Wajib yang
telah berakhir jangka waktunya dalam buku Daftar Umum Paten, mengumumkan dalam
Berita Resmi Paten dan memberitahukannya secara tertulis kepada Pemegang Paten
serta Pengadilan Negeri yang memutuskan pemberiannya. Batal atau berakhirnya
Lisensi Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dan Pasal 90 berakibat
pulihnya hak Pemegang Paten atas paten yang bersangkutan terhitung sejak
tanggal pencatatannya dalam Daftar Umum Paten. (1) Lisensi Wajib tidak dapat dialihkan kecuali
karena pewarisan. (2) Lisensi Wajib yang beralih karena pewarisan
tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lainnya terutama mengenai
jangka waktu dan harus dilaporkan kepada Kantor Paten untuk dicatat dalam
Daftar Umum Paten. Ketentuan lebih lanjut
mengenai Lisensi Wajib diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paten Yang Batal Demi Hukum (1) Paten dinyatakan batal demi hukum oleh
Kantor Paten dalam hal: a. tidak dilaksanakan
dalam jangka waktu empat puluh delapan bulan sejak tanggal pemberian paten; b. tidak dipenuhi
kewajiban membayar biaya tahunan dalam jangka waktu yang diatur dalam Undang‑undang
ini. (2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah
paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2). (1) Batalnya paten demi hukum diberitahukan
secara tertulis oleh Kantor Paten kepada Pemegang Paten dan Pemegang Lisensi
Paten yang bersangkutan serta mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan
tersebut. (2) Batalnya Paten dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan
dalam Berita Resmi Paten. Pembatalan Paten Atas
Permintaan Pemegang Paten (1) Paten dapat dibatalkan oleh Kantor Paten
untuk seluruhnya atau sebagian atas permintaan Pemegang Paten yang diajukan
secara tertulis kepada Kantor Paten. (2) Pembatalan paten sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak dapat dilakukan, jika orang yang menurut catatan dalam Daftar
Umum Paten memegang lisensi untuk melaksanakan paten yang bersangkutan tidak
memberikan persetujuan secara tertulis yang dilampirkan pada permintaan
pembatalan tersebut. (3) Keputusan pembatalan paten diberitahukan
secara tertulis oleh Kantor Paten kepada Pemegang Paten dan kepada orang yang
menurut catatan dalam Daftar Umum Paten menjadi Pemegang Lisensi Paten yang
bersangkutan. (4) Keputusan
pembatalan paten karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatat
dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. (5) Pembatalan paten berlaku sejak tanggal
ditetapkannya keputusan Kantor Paten mengenai pembatalan tersebut. Pembatalan Paten Karena
Gugatan (1) Gugatan pembatalan paten dapat dilakukan
dalam hal: a. menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 7, paten itu seharusnya tidak
dapat diberikan; b. paten tersebut sama
dengan paten lain yang telah diberikan kepada orang lain untuk penemuan yang
sama berdasarkan Undang‑undang ini. (2) Gugatan pembatalan karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a diajukan pihak ketiga kepada Pemegang Paten
melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (3) Gugatan pembatalan karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat diajukan Pemegang Paten atau Pemegang
Lisensi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar paten lain yang sama dengan
patennya dibatalkan. Jika
gugatan pembatalan paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 hanya mengenai
satu atau beberapa klaim atau bagian dari klaim, maka pembatalan diberikan
hanya terhadap hal yang digugat pembatalannya. (1) Salinan gugatan dan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tentang pembatalan paten harus segera disampaikan oleh
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Kantor Paten. (2) Kantor Paten mencatat gugatan dan putusan
tentang pembatalan paten dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam
Berita Resmi Paten. Akibat Pembatalan Paten Pembatalan
paten menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan paten dan hak‑hak
lainnya yang berasal dari paten tersebut. Kecuali
jika ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pembatalan
paten untuk seluruhnya atau sebagian berlaku sejak tanggal putusan pembatalan tersebut. (1) Pemegang Lisensi dari paten yang batal demi
hukum, tetap berhak melaksanakan lisensi yang dimilikinya sampai dengan
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian lisensi. (2) Pemegang Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib
dilakukannya. (3) Dalam hal Pemegang Paten terlebih dahulu
sudah menerima secara sekaligus royalti dari Pemegang Lisensi, Pemegang Paten
tersebut tidak berkewajiban mengembalikan jumlah royalti yang sebanding dengan
sisa jangka waktu penggunaan lisensi. (1) Lisensi dari paten yang dinyatakan batal
oleh sebab‑sebab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b
yang diperoleh dengan itikad baik sebelum diajukannya gugatan pembatalan atas
paten yang bersangkutan, tetap berlaku terhadap paten lainnya. (2) Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tetap berlaku dengan ketentuan bahwa Pemegang Lisensi tersebut untuk
selanjutnya tetap Wajib membayar royalti kepada Pemegang Paten yang tidak
dibatalkan, yang besarnya sama dengan jumlah yang diperjanjikan sebelumnya
dengan Pemegang Paten yang patennya dibatalkan. PELAKSANAAN PATEN OLEH
PEMERINTAH (1) Apabila Pemerintah berpendapat bahwa suatu
paten di Indonesia
sangat penting artinya bagi penyelenggaraan
pertahanan keamanan Negara, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten
yang bersangkutan. (2) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu
paten ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendengar pertimbangan
Menteri dan Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan keamanan
Negara. (1) Ketentuan Pasal 104 berlaku pula bagi
penemuan yang dimintakan paten tetapi tidak diumumkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52. (2) Dalam hal Pemerintah tidak atau belum
bermaksud untuk melaksanakan sendiri paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pelaksanaan paten serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
Pemerintah. (3) Pemegang Paten sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan paten
tersebut dapat dilaksanakan. (1) Dalam hal Pemerintah bermaksud melaksanakan
sendiri suatu paten yang penting artinya bagi penyelenggaraan pertahanan
keamanan Negara, Pemerintah memberitahukan secara tertulis hal tersebut kepada
Pemegang Paten dengan mencantumkan: a. paten yang
dimaksudkan dengan nama dan nomornya; c. jangka waktu
pelaksanaan; d. lain‑lain yang
dipandang penting. (2) Pelaksanaan paten oleh Pemerintah dilakukan
dengan pemberian imbalan yang wajar kepada Pemegang Paten. (1) Keputusan Pemerintah bahwa suatu paten akan
dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah bersifat final. (2) Dalam hal Pemegang Paten tidak setuju
terhadap besarnya imbalan yang ditetapkan Pemerintah, maka keberatan mengenai
hal tersebut dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (3) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diajukan sebagai gugatan perdata. (4) Proses pemeriksaan gugatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) tidak menghentikan pelaksanaan paten oleh Pemerintah. Pelaksanaan
lebih lanjut bagi ketentuan yang terdapat dalam Bab ini diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Kecuali
untuk hal‑hal yang secara khusus diatur untuk Paten Sederhana, ketentuan
lain mengenai paten sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini berlaku
pula bagi Paten Sederhana. (1) Paten Sederhana hanya diberikan untuk satu
klaim. (2) Terhadap permintaan Paten Sederhana langsung
dilakukan pemeriksaan yang bersifat substantif. (1) Untuk Paten Sederhana diberikan Surat Paten
Sederhana oleh Kantor Paten. (2) Paten Sederhana yang diberikan Kantor Paten
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Paten Sederhana. (3) Terhadap keputusan penolakan permintaan
Paten Sederhana tidak dapat dimintakan banding kepada Komisi Banding Paten. (1) Jangka waktu Paten Sederhana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 tidak dapat diperpanjang. (2) Untuk Paten Sederhana tidak dapat dimintakan
Lisensi Wajib dan tidak dikenakan biaya tahunan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai Paten Sederhana, diatur oleh Menteri. (1) Untuk setiap pengajuan permintaan paten,
permintaan pemeriksaan, perpanjangan jangka waktu paten, Surat Keterangan
Pemakai Terdahulu, petikan Daftar Umum Paten dan salinan Surat Paten, salinan
dokumen paten, pencatatan pengalihan paten, pendaftaran Surat Perjanjian
Lisensi, pendaftaran Lisensi Wajib, serta lain‑lainnya yang ditentukan dalam
Undang‑undang ini, wajib membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh
Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan,
jangka waktu dan tata cara pembayaran biaya tersebut diatur oleh Menteri. Pembayaran
biaya tahunan untuk pertama kali harus dilakukan selambat‑lambatnya
setahun terhitung sejak tanggal pemberian paten atau pencatatan lisensi dan
untuk pembayaran tiap‑tiap tahun berikutnya selama paten atau lisensi itu
berlaku harus dilakukan selambat‑lambatnya pada tanggal yang sama dengan
tanggal pemberian paten atau pencatatan lisensi yang bersangkutan. (1) Apabila selama tiga tahun berturut‑turut
Pemegang Paten tidak membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal
19 dan Pasal 115, maka paten dianggap berakhir terhitung sejak tanggal yang
menjadi akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun yang ketiga
tersebut. (2) Apabila tidak dipenuhi kewajiban pembayaran
biaya tahunan tersebut berkaitan dengan kewajiban pembayaran biaya tahunan
untuk tahun kedua belas dan selanjutnya maka paten dianggap berakhir pada akhir
batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun yang bersangkutan. (3) Berakhirnya jangka waktu paten karena alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Paten dan
diumumkan dalam Berita Resmi Paten. (1) Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 116 ayat (3), pembayaran biaya tahunan yang terlambat dilakukan dari
batas waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 115 dikenakan biaya tambahan
sebesar dua puluh lima perseratus untuk tiap tahun. (2) Keterlambatan pembayaran biaya tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Kantor
Paten dalam waktu tujuh hari setelah lewatnya batas waktu yang ditentukan
kepada Pemegang Paten yang bersangkutan (3) Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) oleh yang tersangkutan tidak mengurangi berlakunya ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (1) Penyelenggaraan administrasi atas paten
sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini, dilaksanakan oleh Kantor
Paten. (2) Penyelenggaraan administrasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kewenangan instansi lain
sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini. Kantor
Paten menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi paten yang
dilaksanakan dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi
paten yang bersifat nasional, sehingga seluas mungkin mampu menyediakan informasi
kepada masyarakat mengenai teknologi yang diberi paten. Dalam melaksanakan
pengelolaan paten, Kantor Paten memperoleh pembinaan dari dan bertanggungjawab
kepada Menteri. (1) Jika suatu paten diberikan kepada orang lain
selain dari pada orang yang berdasarkan Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 berhak
atas paten tersebut, maka orang yang berhak atas paten itu dapat menuntut ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat supaya paten yang bersangkutan berikut hak‑hak
yang melekat pada paten tersebut diserahkan kepadanya untuk seluruhnya atau
untuk sebagian ataupun untuk dimiliki bersama. (2) Salinan putusan atas tuntutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat segera
disampaikan kepada Kantor Paten untuk selanjutnya dicatat dalam Daftar Umum
Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. (1) Pemegang Paten atau Pemegang Lisensi berhak
menuntut ganti rugi melalui Pengadilan Negeri setempat, siapapun yang dengan
sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
terhadap haknya. (2) Tuntutan ganti rugi yang diajukan terhadap
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b hanya dapat
diterima apabila hasil produksi itu terbukti dibuat dengan menggunakan penemuan
yang telah diberi paten tersebut. (3) Putusan Pengadilan Negeri tentang tuntutan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh Panitera Pengadilan Negeri yang
bersangkutan segera disampaikan kepada Kantor Paten untuk selanjutnya dicatat dalam
Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. (1) Untuk mencegah kerugian yang lebih besar
pada pihak yang haknya dilanggar, maka sewaktu masih dalam pemeriksaan oleh
Pengadilan Negeri, Hakim dapat memerintahkan pelanggar paten tersebut untuk
menghentikan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. (2) Jika dituntut penyerahan barang hasil
pelanggaran paten atau nilai barang tersebut maka Hakim dapat memerintahkan
bahwa penyerahan baru dapat dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan setelah dibayar ganti rugi oleh orang yang menuntut
kepada pemilik barang‑barang yang beritikad baik. Hak
untuk mengajukan tuntutan sebagaimana diatur dalam Bab ini tidak mengurangi hak
Negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran paten. (1) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat
diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi dan kasasi kepada Mahkamah Agung. (2) Putusan banding dan putusan kasasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh Panitera Pengadilan Negeri harus
segera disampaikan kepada Kantor Paten untuk selanjutnya dicatat dalam Daftar
Umum Paten dalam diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Barangsiapa
dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten dengan melakukan
salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dipidana dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Barangsiapa
dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten Sederhana dengan
melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Barangsiapa
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (3), Pasal 46 dan Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan. (1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
departemen yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pembinaan paten,
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang‑undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang paten. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berwenang: a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang paten; b. melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang paten; c. meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa
tindak pidana di bidang paten; d. melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang paten; e. melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang paten; f. meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
paten. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang‑undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. (1) Dalam waktu satu tahun terhitung sejak
tanggal mulai berlakunya Undang‑undang ini, mereka yang telah mengajukan
pendaftaran permintaan paten berdasarkan Pengumuman Pemerintah tahun 1953 dalam
10 (sepuluh) tahun sebelum tanggal mulai berlakunya Undang‑undang ini,
dapat mengajukan permintaan paten berdasarkan ketentuan Undang‑undang
ini. (2) Apabila permintaan paten yang telah
terdaftar dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
diajukan kembali dalam waktu satu tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Undang‑undang ini,
permintaan paten tersebut dianggap berakhir. (3) Pendaftaran permintaan paten berdasarkan
Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diajukan lebih dari sepuluh
tahun sebelum mulai tanggal berlakunya Undang‑undang ini, dinyatakan
gugur. (4) Terhadap permintaan paten sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan dalam Undang‑undang ini dan
dalam hal. diberikan paten maka jangka waktu berlakunya diperhitungkan sejak
tanggal diterimanya permintaan paten berdasarkan Pengumuman tersebut. Pembentukan
badan yang berfungsi memberikan pertimbangan tentang kebijaksanaan strategis
dalam masalah paten, dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan. Semua
peraturan yang telah ada mengenai paten sejak tanggal diundangkannya Undang‑undang
ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang‑undang ini
mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1991. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‑undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. pada tanggal 1 Nopember 1989 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Diundangkan
di Jakarta pada tanggal 1 Nopember
1989 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA UNDANG‑UNDANG
REPUBLIK INDONESIA Dalam Garis‑garis
Besar Haluan Negara ditegaskan bahwa sasaran utama pembangunan jangka panjang
adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan
berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Adapun titik beratnya, adalah pembangunan bidang ekonomi
dengan sasaran utama terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang di mana
terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan
dan kemampuan pertanian yang tangguh. Landasan serupa itu telah
diupayakan secara terus‑menerus dan bertahap oleh bangsa Indonesia sejak
Repelita pertama. Melalui tahapan Repelita demi Repelita tersebut, bangsa Indonesia pada
saat ini telah sampai pada tahap yang sangat penting yaitu mewujudkan struktur
ekonomi dengan titik berat kekuatan industri yang didukung oleh bidang
pertanian yang kuat. Dengan struktur ekonomi seperti ini, dalam tahap
pembangunan lima tahun selanjutnya bangsa Indonesia dapat
memasuki era tinggal landas untuk lebih memacu pembangunan atas dasar kekuatan
sendiri guna mewujudkan tujuan pembangunan Nasional. Dengan memperhatikan arah
dan sasaran pembangunan sebagaimana disebut di atas, khususnya yang berkaitan
dengan upaya untuk membangun kekuatan industri, faktor yang perlu diperhatikan
adalah kebutuhan akan teknologi. Faktor ini penting, karena pada dasarnya
merupakan salah satu kunci yang sifatnya menentukan kehidupan industri. Bahkan
lebih dari itu teknologi adalah faktor penentu dalam pertumbuhan dan
perkembangan industri. Apakah teknologi itu berasal dari Negara lain, ataukah
hasil penemuan dan pengembangan bangsa Indonesia sendiri, memiliki arti
yang sama pentingnya. Sebagai ilmu pengetahuan
yang diterapkan dalam proses industri, teknologi lahir dari kegiatan penelitian
dan pengembangan. Kegiatan tersebut dapat
saja berlangsung dalam bentuk dan cara yang sederhana, tetapi dapat pula dalam
bentuk dan cara yang lebih pelik dan memakan waktu, melalui lembaga penelitian
dan pengembangan (Research and Development/R & D). Teknologi yang
dihasilkan dari kegiatan itupun beraneka ragam sesuai dengan jenis dan kemanfaatannya.
Dari segi nilai, kegiatan penemuan teknologi dan pengembangannya, selalu
melibatkan tenaga dan pikiran, waktu dan juga biaya yang biasanya sangat besar
jumlahnya. Tetapi bagaimanapun bentuk, cara penemuan, waktu dan biaya yang
tersangkut dalam kegiatan tersebut, teknologi tetap memiliki arti dan peran
yang khusus dalam industri. Dengan teknologi itu pula, segi teknis dan ekonomis
suatu produk industri akan dipengaruhi atau ditentukan nilainya di pasar.
Dengan pemanfaatan teknologi, akan makin memperkuat daya saing suatu produk
industri. Dengan memperhatikan arti
dan peran teknologi yang begitu penting dalam industri, maka tidaklah mungkin
bilamana pencapaian sasaran pembangunan
industri nasional dapat dilakukan dengan mengabaikan teknologi. Oleh sebab itu,
langkah untuk menciptakan iklim atau suasana yang baik dan mampu mendorong
gairah atau semangat penemuan teknologi, menjadi sangat penting. Setidaknya,
iklim yang lebih memungkinkan bangsa Indonesia untuk mengetahui dan
meningkatkan kemampuan dalam menguasai teknologi. Bersamaan dengan langkah
untuk mewujudkan iklim atau suasana seperti itu, langkah tersebut sekaligus
harus pula memberikan perlindungan hukum yang memadai. Teknologi pada dasarnya
lahir dari karsa intelektual, sebagai karya intelektual manusia. Karena
kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu dan biaya ‑berapapun besarnya‑,
maka teknologi memiliki nilai atau manfaat ekonomi. Oleh sebab itu, adalah
wajar bilamana terhadap hak atas penemuan tersebut diberi perlindungan hukum.
Adanya kepastian bahwa hak seseorang akan memperoleh perlindungan hukum itulah,
yang pada gilirannya akan memperkuat iklim yang baik bagi penyelenggaraan
kegiatan yang melahirkan teknologi. Dalam ilmu hukum dan
praktek yang secara luas dianut oleh bangsa lain, hak atas karya intelektual
tersebut diakui sebagai hak milik yang sifatnya tidak berwujud. Hak seperti ini
yang dikenal dengan paten. Dalam kerangka perwujudan
iklim yang mampu mendorong semangat penemuan dan sekaligus pemberian
perlindungan hukum itulah, ketentuan paten disusun dalam Undang‑undang
ini. Sebagai hak, paten diberikan oleh Negara apabila diminta oleh penemu, baik
orang atau badan hukum yang berhak atas penemuan tersebut. Paten adalah hak
yang khusus (eksklusif) sifatnya. Artinya, paten adalah hak yang hanya
diberikan kepada pemegangnya untuk dalam jangka waktu tertentu melaksanakan
sendiri penemuan tersebut, atau untuk memberi kewenangan kepada orang lain guna
melaksanakannya. Dalam waktu tertentu itu pula, pihak lain dilarang untuk
melaksanakan penemuan tersebut kecuali atas ijin Pemegang Paten yang
bersangkutan. Memperhatikan perkembangan
yang sangat pesat di bidang teknologi, khususnya elektronika, peranan
Integrated Circuit dalam menunjang perkembangan tersebut membawa dampak sangat
luas, maka masalah Integrated Circuit tidak dimasukkan dalam lingkup pengaturan
Undang‑undang ini. Bidang tersebut memerlukan pengaturan tersendiri. Dengan sifat paten seperti
tersebut di atas, maka sebagaimana halnya dengan hak milik lainnya, paten juga
diperlakukan sedemikian pula dalam Undang‑undang ini. Karenanya,
perampasan atau penyitaan paten oleh Negara tidak dianut didalamnya. Namun
demikian penghargaan terhadap hak seperti itu tidak berarti pengakuan bahwa
paten dapat digunakan tanpa batas. Seperti hak milik lainnya, paten juga
memiliki fungsi sosial. Paten dibatasi oleh jangka waktu tertentu. Selain itu,
paten wajib untuk dilaksanakan atau digunakan di Indonesia. Dalam hubungan kewajiban
untuk melaksanakan paten ini, masyarakat industri dapat pula melakukan pengawasan.
Bila paten tidak dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, atau tidak cukup
dilaksanakan secara komersial, sedangkan kesempatan untuk itu sebenarnya
dimiliki, maka masyarakat industri dapat meminta kepada Pengadilan Negeri untuk memberi ijin kepadanya guna
melaksanakan paten yang bersangkutan. Demikian pula halnya
apabila sesuatu penemuan (termasuk yang telah mendapat paten) ternyata sangat
penting artinya bagi penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara maka Pemerintah
dapat melaksanakannya sendiri. Walaupun demikian , sejalan dengan sikap
penghargaan terhadap paten sebagai hak dan keinginan untuk mewujudkan iklim
yang sebaik‑baiknya guna mendorong kegiatan penemuan teknologi,
pembatasan yang dikaitkan dengan prinsip mengenai fungsi sosial itupun tetap dirancang
secara seimbang. Artinya, pelaksanaan paten oleh pihak lain, termasuk oleh
Pemerintah, tetap harus berlangsung atas dasar ketentuan yang adil. Pelaksanaan
paten serupa itu, tetap harus sepengetahuan Pemegang Paten. Ia harus diberitahu
pada kesempatan pertama dan didengar penjelasannya. Imbalan yang wajar, dalam
arti jumlah dan cara perhitungannya yang sesuai dengan praktek yang lazim,
harus tetap diberikan. Selain pembatasan yang
berlandaskan prinsip fungsi sosial, Undang‑undang ini juga mencegah kemungkinan
timbulnya penyalahgunaan paten. Hal yang dapat menjurus pada praktek dagang
yang merugikan pihak lain dan merugikan masyarakat serta perekonomian Negara
pada umumnya, harus dihindari. Oleh karena itu, Undang‑undang ini
mengatur antara lain perihal pemasukan (impor) hasil produksi oleh pihak lain
dalam kaitannya dengan pemilikan suatu paten dan beberapa hal lain yang
berkaitan dengan lisensi. Khusus mengenai masalah lisensi ini, karena luasnya
cakupan yang hendak dicapai, Undang‑undang ini mengamanatkan kepada
Pemerintah untuk mengaturnya lebih lanjut agar selalu sesuai dengan kebutuhan
dan keadaan. Hal lain yang memperoleh
pertimbangan dalam Undang‑undang ini adalah kondisi perekonomian dan
kehidupan industri di Indonesia saat ini dan sasaran yang ingin dicapai di masa
yang akan datang, serta tingkat penguasaan dan kemampuan bangsa Indonesia di
bidang teknologi baik sekarang maupun di masa depan. Dengan mengkaji hal di
atas, Undang‑undang ini dengan tegas menyatakan bidang penemuan teknologi
yang tidak dapat dimintakan paten. Begitu pula untuk penemuan teknologi di
bidang tertentu yang dalam kebijaksanaan pembangunan industri nasional, dapat
ditunda untuk sementara pemberian patennya. Bedanya, hal yang terakhir ini
dipertimbangkan secara kasus demi kasus, dan keputusannya diserahkan kepada
Presiden. Hal terakhir yang penting
pula untuk dipertimbangkan, adalah segi pengelolaan ketentuan paten. Bidang ini
memiliki aspek yang sangat luas : sosial, budaya, ekonomi, hukum, politik dan
pertahanan keamanan Negara. Jangkauannya meliputi
sektor yang erat berkaitan satu dengan lainnya. Oleh karenanya, pengelolaannya
diharapkan dapat pula dilakukan secara komprehensif dan memadai. Pengelolaan
tersebut perlu didorong agar terhindar dari sikap dan cara pandang yang
administratif‑rutin, tetapi harus lebih kreatif. Ketentuan paten tidak
hanya sekedar diarahkan bagi kemajuan industri yang akan menjadi tulang
punggung ekonomi nasional, tetapi juga untuk mendorong kegiatan penemuan dan
pengembangan teknologi di kalangan bangsa Indonesia. Dari segi ini, adanya
sistem dokumentasi dan jaringan
informasi paten yang secara efektif dapat memberikan pelayanan kepada
masyarakat industri ataupun peneliti, perlu diusahakan. Sebab, paten memang
merupakan salah satu sumber informasi teknologi. Karena itu pula, badan yang
diserahi tugas untuk mengelolanya perlu diberi sarana dan prasarana yang
memungkinkannya untuk melaksanakan tugas secara efisien dan efektif. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Negara dalam hal ini
diwakili oleh Pemerintah, yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan khusus yang
ditunjuk dalam Undang‑undang ini. Teknologi pada dasarnya adalah ilmu
pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri. Teknologi biasanya lahir
atau ditemukan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (research and
development). Bagi penemu, hak khusus
tersebut bersifat eksklusif, artinya hak tersebut hanya diberikan kepada penemu
sebagai satu‑satunya yang berhak atas penemuannya. Dalam hal ini, hak
seperti itu tetap melekat pada penemu dan tidak berkurang sekalipun di kemudian
hari ada pula yang berdasarkan Undang‑undang ini diakui sebagai penemu
terdahulu. Yang dimaksud dengan
orang, meliputi pula badan hukum. Angka 2 sampai dengan Angka 7 Yang dimaksud dengan
permintaan pertama adalah permintaan paten yang telah diajukan untuk pertama
kali di suatu negara lain. Dalam Undang‑undang ini, penemu dari luar
negeri dapat pula mengajukan permintaan paten di Indonesia sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Paris. Terhadap permintaan paten serupa itu
diberikan hak untuk didahulukan apabila permintaan tersebut diajukan dalam
waktu dan sesuai syarat‑syarat yang ditentukan dalam Undang‑undang
ini. Hak untuk didahulukan
seperti itu, disebut hak prioritas. Dalam hal pengumuman
tersebut dilakukan dalam bentuk penguraian, lisan, maka hal itu harus
berlangsung dalam forum resmi, apapun namanya, yang disebarluaskan secara
nasional. Yang dimaksud dengan diumumkan di Indonesia
atau di luar Indonesia,
adalah sama dengan diumumkan di dalam negeri atau di luar negeri. Yang dimaksud dengan
pameran yang resmi adalah pameran yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
sedangkan pameran yang diakui sebagai resmi adalah pameran yang diselenggarakan
oleh masyarakat tetapi diakui atau memperoleh persetujuan Pemerintah. Dapat digunakan dalam
berbagai jenis industri maksudnya penemuan mengenai proses. Karena memiliki nilai
kegunaan praktis, maka terkandung pula di dalamnya nilai ekonomis. Benda, alat,
atau hasil produksi seperti itu tidak memiliki kualitas penemuan karena
penemuan tersebut biasanya diperoleh dengan cara yang lebih sederhana, tidak
melalui prosedur sebagaimana lazimnya kegiatan penelitian dan pengembangan. Barang‑barang
seperti itu biasanya berupa peralatan yang banyak digunakan dalam kehidupan
sehari‑hari, seperti misalnya mesin pembuat bakso, alat pemarut kelapa,
pemecah kulit kopi, pemipil jagung dan perontok gabah. Karena itu, barang‑barang
tersebut seringkali dikenal pula sebagai "utility model". Karena sifatnya yang
serba sederhana, maka perlindungannya diberikan dalam rangka Paten Sederhana. Bagi Indonesia,
masalah makanan dan minuman merupakan masalah yang sangat pokok sifatnya dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, dirasa tidak pada tempatnya
bilamana penemuan di bidang pangan baik mengenai cara membuat maupun hasilnya,
atau bahan baku
untuk membuatnya, diberi paten. Yang dimaksud dengan
jenis atau varitas baru tanaman atau hewan adalah tanaman pangan atau hewan
potong. Bilamana dalam
pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan pembedahan tersebut digunakan peralatan
kesehatan, maka ketentuan ini hanya berlaku bagi penemuan tentang metoda
pemeriksaan dan lain‑lainya. Peralatan kesehatan yang
digunakan baik yang berupa alat, bahan, maupun obat, tidak termasuk didalamnya. Di luar penemuan yang menurut ketentuan Pasal 7 secara mutlak tidak
diberi paten, kemungkinan ada penemuan tertentu di bidang‑bidang lain
yang sebenarnya dapat diberi paten tetapi untuk sementara waktu perlu ditunda
pemberiannya. Ketentuan ini pada hakekatnya hanya bersifat penundaan pemberian
paten, artinya bilamana sesuatu penemuan dinilai penting bagi rakyat atau bagi
kelancaran pelaksanaan program pembangunan di bidang tertentu, Presiden dapat
menunda pemberian paten yang diminta untuk jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun sejak tanggal dikeluarkannya Keputusan Presiden tersebut. Penetapan di atas
sifatnya kasus per kasus dan dapat dilakukan dari waktu ke waktu sejak berlakunya
Undang‑undang ini. Ketentuan ini tidak berlaku untuk penemuan yang pada
waktu itu telah memperoleh paten atau sedang dimintakan paten di Indonesia
dengan hak prioritas. Dengan demikian ayat ini hanya berlaku bagi penemuan yang
sedang atau akan dimintakan paten. Ketentuan ini tidak
berarti diabaikannya pemenuhan syarat‑syarat administratif, bahkan hal
itu tetap harus dipenuhi. Dengan adanya penundaan tersebut maka pengumuman
permintaan paten bagi penemuan yang bersangkutan juga ditunda. Sebagai imbangan dari
penundaan, maka terhadap permintaan paten langsung diadakan pemeriksaan
substantif setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman. Dalam hal ini, yang
bersangkutan tidak perlu lagi mengajukan permintaan pemeriksaan substantif. Jangka waktu paten
selama 14 (empat belas) tahun tersebut dapat pula dikatakan sebagai jangka
waktu perlindungan hukum atas paten yang bersangkutan. Jangka waktu itu dihitung sejak tanggal penerimaan permintaan
paten (filing date). Tanggal tersebut dinyatakan dalam Surat Paten (Letter of Patent)
yang diberikan oleh Kantor Paten. Daftar Umum Paten berupa buku yang khusus berisikan catatan
tentang Surat Paten, yang dibuat dalam bentuk dan susunan yang sederhana, jelas
dan rapi. Berita Resmi Paten dapat pula disebut Jurnal Paten, yang dikelola
dan diterbitkan secara berkala oleh Kantor Paten, serta ditempatkan/ditempelkan
di papan pengumuman Kantor Paten yang dapat dilihat dengan mudah oleh
masyarakat dan disebarluaskan. Berita Resmi Paten memiliki kekuatan hukum yang sama dengan
Tambahan Berita Negara. Sekalipun demikian, apabila Pemegang Paten menghendaki
agar Surat Patennya diumumkan dalam Tambahan Berita Negara, maka hal itu dapat
saja diusahakan atas biaya sendiri. Karena benda atau alat
yang dihasilkan tersebut diperoleh dengan waktu yang relatif singkat, dengan
cara yang sederhana, dengan biaya yang relatif murah dan secara teknologi juga
bersifat sederhana, maka jangka waktu perlindungan selama 5 (lima) tahun dinilai cukup. Ketentuan ini memberi
penegasan bahwa hanya penemu, atau yang menerima lebih lanjut hak penemu, yang
berhak memperoleh paten atas penemuan yang bersangkutan. Penerimaan lebih
lanjut hak penemu tersebut dapat terjadi karena pewarisan, hibah, wasiat atau
perjanjian, sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini. Yang dimaksud dengan
mereka adalah beberapa orang yang secara bersama‑sama menghasilkan
penemuan. Ketentuan ini memberikan
penegasan mengenai hak atas penemuan yang dimiliki oleh para penerima lebih
lanjut dari orang‑orang yang semula secara bersama‑sama memiliki
hak atas penemuan tersebut. Yang dimaksud dengan
mereka adalah orang, beberapa orang secara bersama‑sama atau badan hukum. Undang‑undang ini memakai titik tolak bahwa yang
pertama kali mengajukan permintaan paten dianggap sebagai penemu. Apabila di kemudian hari terbukti sebaliknya secara kuat dan
meyakinkan maka status sebagai penemu tersebut dapat berubah. Termasuk dalam
pengertian perjanjian kerja adalah perjanjian perburuhan. Dalam hal demikian,
maka pemberi kerja adalah majikan. Sekalipun penemu yang
sebenarnya tidak memiliki hak atas penemuannya, tetapi dengan mengingat adanya
manfaat ekonomi yang diperoleh dari penemuan itu, maka adalah wajar bilamana
penemu juga memperoleh kesempatan untuk ikut menikmati manfaat ekonomi
tersebut. Kesempatan untuk ikut
menikmati manfaat ekonomi itulah yang diwujudkan dalam bentuk pemberian
imbalan. Dalam hubungan ini imbalan diartikan sebagai kompensasi. Pencantuman nama penemu
dalam Surat Paten pada dasarnya adalah lazim. Hak ini sering dikenal dengan
istilah "moral right". Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada penemu terdahulu yang beritikad
baik, tetapi tidak/belum mengajukan permintaan paten. Dalam hal ini, kegiatan
yang dilakukannya berupa pelaksanaan penemuannya tersebut dapat tetap
dilaksanakan olehnya sebagai penemu terdahulu. Penemuan tersebut dengan
demikian harus benar‑benar merupakan hasil kegiatan yang dilakukan dengan
itikad baik dan terpisah sama sekali dari kegiatan lain yang menghasilkan
penemuan yang diberi paten. Pemberian perlindungan
selama masa yang sama tersebut didasarkan atas prinsip keadilan. Hak khusus yang
dimaksudkan adalah hak yang bersifat eksklusif. Artinya hak yang hanya
diberikan kepada Pemegang Paten untuk dalam jangka waktu tertentu melaksanakan
sendiri secara perusahaan atau memberi hak lebih lanjut untuk itu kepada orang
lain. Dengan demikian orang lain dilarang melaksanakan paten tersebut tanpa
persetujuan Pemegang Paten. Pemberian hak kepada orang lain tersebut dapat
melalui pewarisan, penyerahan, perikatan atau mungkin cara peralihan hak yang
lain lagi. Paten pada dasarnya
merupakan perlindungan hukum bagi penemu atas penemuannya yang diberikan untuk
jangka waktu tertentu. Perlindungan serupa ini, sesuai dengan sifat eksklusif
yang dimilikinya, melarang orang lain untuk tanpa hak atau persetujuan dari
Pemegang Paten melaksanakan atau melakukan tindakan lainnya yang bersifat
pengambilan manfaat ekonomi dari suatu penemuan. Oleh karenanya unsur
yang terpenting terletak pada aspek perlindungan hukum terhadap pemanfaatan hak
tersebut di Indonesia. Pengertian ini mengacu
kepada pelaksanaan paten. Dengan demikian adalah wajar bilamana persoalannya
dipisahkan dari masalah impor. Sebab impor, seperti halnya ekspor, adalah
masalah tata niaga. Pemisahan antara kedua masalah ini yaitu antara
perlindungan hak dan masalah tata niaga dengan demikian merupakan hal yang
wajar. Bukan saja keduanya menunjukkan bidang permasalahan yang
berbeda tetapi hal inipun perlu untuk mencegah penyalahgunaan paten. Pengimporan yang
dimaksudkan dalam pasal ini, adalah yang dilakukan oleh orang selain Pemegang
Paten. Adapun istilah padanan sama artinya dengan "copy product". Pemikiran mengenai
masalah ini bertolak dari prinsip yang pada dasarnya sama seperti yang
diuraikan dalam Penjelasan Pasal 20. Adapun pendekatannya juga dilakukan atas asar
pertimbangan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kepentingan, kebutuhan
dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Termasuk dalam
pengertian ini adalah kepentingan nasional dalam pembinaan dan pengembangan
industri di dalam negeri, serta peningkatan kemampuan dalam penguasaan
teknologi oleh bangsa Indonesia.
Sekalipun begitu memang dipahami bahwa masalah keseimbangan ini sangat bersifat
situasional. Artinya, dari waktu ke waktu berkembang sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan. Karena itu dalam masalah ini perlu diberikan kelonggaran kepada
Pemerintah untuk menimbang dan mengaturnya sesuai dengan perkembangan keadaan
tersebut. Ketentuan ini diperlukan
untuk menjaga kepentingan orang atau badan hukum selain Pemegang Paten yang
telah menguasai atau memetik manfaat ekonomi suatu penemuan yang berupa proses
atau hasil produksi sebelum diberikannya paten untuk penemuan yang
bersangkutan. Penegasan ini dipandang
perlu sebab selama belum diberi paten berarti belum ada perlindungan hukum. Oleh karenanya, kegiatan
pemakaian dan lain‑lain yang dilakukan sebelum adanya paten tidak dapat
dinyatakan sebagai pelanggaran. Selain kepastian hukum,
hal ini juga mempunyai arti penting untuk melindungi anggota masyarakat. Lihat Penjelasan Umum. Penetapan besarnya biaya
dilakukan dengan selalu memperhatikan keadaan dan keperluan yang mampu
mendorong para penemu untuk mengajukan permintaan paten bagi penemuannya. Yang dimaksudkan dengan
bukan penemu adalah pihak lain yang menerima hak atas penemuan dari penemu. Hal
itu dapat berlangsung misalnya karena pewarisan, penyerahan karena hibah atau
karena perjanjian. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi penemu dari kemungkinan yang merugikannya. Permintaan paten dapat
diajukan sendiri oleh penemu atau yang berhak atas penemuan dengan secara
langsung datang ke Kantor Paten atau melalui jasa Pos. Permintaan tersebut
dapat pula diajukan melalui Konsultan Paten sebagai kuasa yang ahli di bidang
ini. Konsultan seperti ini adalah lembaga yang secara khusus memberikan jasa
yang berkaitan dengan pengajuan permintaan paten. Tujuan pengaturan ini
adalah untuk memberi kemudahan bagi penemu atau orang yang menerima hak atas
penemuan, yang tidak memahami segi‑segi hukum mengenai paten ataupun segi‑segi
teknis administratif yang diperlukan untuk itu. Selain itu, kemungkinan ini
juga dimaksudkan untuk mempercepat proses permintaan itu sendiri. Di tangan
kuasa yang ahli, diharapkan masalah‑masalah hukum dan teknis yang
berkaitan dengan permintaan paten dapat diselesaikan secara cepat. Konsultan
ini bertindak sebagai kuasa khusus dalam pengajuan permintaan paten. Tugas ini menyangkut
pengetahuan dan keahlian yang bersifat khusus. Oleh karenanya hanya konsultan
yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang paten saja yang dapat ditunjuk
sebagai kuasa untuk menangani permintaan paten. Mereka terdaftar dalam daftar
yang khusus dibuat oleh Kantor Paten dan dapat diketahui oleh masyarakat. Kewajiban Konsultan
Paten untuk menjaga kerahasiaan tersebut berlaku pula terhadap pihak yang
terkait yang dipekerjakan oleh konsultan tersebut seperti penterjemah dan lain‑lainnya.
Kewajiban tersebut berakhir pada saat permintaan paten mulai diumumkan oleh
Kantor Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1). Ketentuan ini merupakan
pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1). Maksudnya, untuk
mempermudah dan membantu mempercepat proses permintaan paten dari para penemu
atau yang berhak atas penemuan yang berdomisili di luar wilayah Negara Republik
Indonesia.
Sebab, hal ini akan menyangkut bahasa dan pemenuhan aturan lain yang harus
diperhatikan, tetapi biasanya tidak mereka kuasai. Ketentuan ini untuk
memudahkan korespondensi, tetapi juga untuk memelihara kepastian tempat tinggal
atau kedudukan di Indonesia.
Selebihnya, lihat penjelasan Pasal 27. Perjanjian internasional
mengenai perlindungan paten yang dimaksud adalah Konvensi Paris atau Paris
Convention on the Protection of Industrial Property, atau perjanjian
internasional atau regional lainnya di bidang tersebut, yang diikuti oleh
Negara Republik Indonesia. Pihak yang berwenang
mengesahkan salinan surat
permintaan paten yang pertama kali adalah pejabat Kantor Paten suatu Negara di
mana permintaan paten untuk pertama kali diajukan. Bila permintaan paten
tersebut diajukan berdasar perjanjian internasional di bidang kerjasama paten
seperti Patent Cooperation Treaty, maka pihak yang berwenang tersebut adalah
WIPO (World Intellectual Property Organization, yaitu badan khusus PBB yang
bertugas mengadministrasikan perjanjian internasional mengenai intellectual
property). Permintaan paten dengan
hak prioritas tetap harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 30. Pengajuan dalam bahasa
Indonesia tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pemeriksaan ataupun
pemanfaatannya sebagai sumber informasi teknologi bagi bangsa Indonesia. Sudah barang tentu, bagi
orang dari luar negeri yang meminta paten di Indonesia baik untuk yang pertama
kali ataupun dengan hak prioritas, ada beberapa bagian yang secara teknis
menjadi sulit bila harus diterjemahkan, misalnya istilah atau kata yang
tercetak dalam gambar (drawing). Bagian ini dapat tidak
diterjemahkan. Begitu pula istilah‑istilah teknis yang mungkin masih
dinilai lebih baik ditulis dalam bahasa asing. Namun demikian, surat
permintaan, deskripsi, klaim dan abstraksi mutlak perlu dibuat dalam bahasa Indonesia. Alamat lengkap tersebut harus berisikan nama jalan, nomor
bangunan, kode wilayah pos, kota,
Negara. Dalam hal ada Negara Bagian, harus pula disebutkan dengan jelas. Pemohon menyampaikan nama lengkap penemu dan kewarganegaraannya.
Demikian pula jika penemuan dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila
penemu adalah badan hukum, harus disebutkan negara di mana badan hukum tersebut
didirikan dan memperoleh status sebagai badan hukum. Huruf d sampai dengan
Huruf g Klaim tersebut mengacu pada inti penemuan teknologi yang bersifat
pokok atau strategis. Klaim seperti itu harus dengan tegas menggambarkan inti
penemuan yang dimintakan perlindungan hukum, jelas dan tepat, serta didukung
uraian teknis. Abstraksi tersebut semata‑mata dibuat untuk tujuan
kejelasan teknis. Dokumen tersebut
diperlukan untuk mempermudah dan mempercepat penilaian terhadap sifat
kebaharuan (novelty) dan kadar penemuan (inventiveness) dari penemuan yang
dimintakan paten. Salinan yang sah adalah
salinan dari surat
atau dokumen yang asli. Mengenai keputusan penolakan permintaan paten yang
dimaksud dalam huruf c, adalah keputusan penolakan atas surat permintaan paten, atau penolakan untuk
memberikan paten. Berbeda dengan syarat
yang ditetapkan dalam ayat (1) yang apabila tidak dipenuhi dapat berakibat
ditolaknya pengajuan surat
permintaan paten, dokumen yang disebut dalam ayat ini bersifat sebagai
kelengkapan informasi yang diperlukan dalam pemeriksaan. Ketentuan ini perlu
untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut hal‑hal
yang bersifat teknis dalam pelaksanaan. Selain itu, hal ini juga
diperlukan untuk menyesuaikan tingkat kebutuhan dengan keadaan kemampuan yang
dimiliki dalam pengelolaan sistem paten pada umumnya. Dengan begitu, dapat
dijaga keluwesan dalam menghadapi perkembangan di kemudian hari. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberikan kepastian mengenai kapan sebenarnya permintaan
paten diterima. Hal ini biasanya terjadi karena tanggal penerimaan surat permintaan oleh Kantor Paten berbeda dengan tanggal
yang tercantum dalam surat
itu. Dalam hal ini apabila terdapat permintaan paten untuk penemuan yang sama
dan diterima pada tanggal yang sama pula, maka permintaan
paten yang diterima adalah permintaan yang diajukan lebih dahulu. Sekalipun penerimaan surat permintaan paten
tersebut hanya berselisih satu detik, tetapi prinsipnya permintaan yang
diterima lebih dahulu itulah yang diakui. Begitu pula bilamana
terdapat kekurangan persyaratan, biasanya pemenuhannya baru berlangsung
kemudian. Untuk itu, permintaan paten dianggap diajukan pada tanggal penerimaan
pemenuhan kelengkapan oleh Kantor Paten. Pemeriksaan awal
dilakukan segera setelah diterimanya surat
permintaan paten. Karena obyeknya bersifat administratif, maka pemeriksaan
itupun pada dasarnya merupakan pemeriksaan formal. Apabila dalam
pemeriksaan awal tersebut surat permintaan paten ternyata sudah memenuhi
ketentuan Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 (untuk permintaan dengan hak
prioritas) maka tanggal sewaktu Kantor Paten menerimanya ditetapkan sebagai
tanggal penerimaan (filing date). Tetapi apabila dari pemeriksaan kemudian
ternyata masih terdapat kekurangan, maka tanggal pada saat Kantor Paten
menerima pemenuhan yang terakhir kekurangan tersebut yang digunakan/ditetapkan
sebagai tanggal penerimaan. Oleh karena pentingnya
arti tanggal penerimaan tersebut, pencatatan untuk itu diadakan dalam buku
daftar tanggal penerimaan yang diadakan secara khusus dan dengan mencantumkan
saat atau waktu penerimaan surat
permintaan tersebut. Alasan yang dapat
dipertimbangkan tersebut hanya dibatasi untuk hal‑hal yang bersifat
teknis saja, misalnya karena belum terselesaikannya pembuatan uraian atau
deskripsi penemuan dan gambar‑gambar atau drawings yang mendukungnya. Dalam hal pengajuan
tersebut dilakukan oleh kuasa, maka surat
pemberitahuan tersebut disampaikan kepada kuasa yang bersangkutan. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mempertegas prinsip bahwa satu permintaan paten hanya dapat
diajukan untuk satu penemuan. Tanggal yang digunakan
sebagai patokan adalah tanggal penerimaan surat
permintaan paten oleh Kantor Paten baik yang diajukan sendiri secara langsung
maupun yang melalui jasa pos. Dalam hal surat permintaan paten
diterima pada tanggal yang sama, harus diperhatikan waktu atau saat
penerimaannya. Bagaimanapun surat
permintaan paten yang diterima lebih dahulu, sekalipun hanya berselisih satu
detik lebih awal, permintaan paten yang terdahulu itulah yang diterima. Lihat pula penjelasan
Pasal 33. Sebelum menolak
permintaan paten tersebut, Kantor Paten tetap mengupayakan untuk sekali lagi
mempertemukan orang‑orang yang mengajukan permintaan paten sehingga dapat
diperoleh kesepakatan di antara mereka mengenai siapa yang berhak untuk
mengajukan permintaan paten yang bersangkutan. Apabila upaya tersebut
di atas tetap tidak memberikan hasil, maka penentuan siapa yang berhak untuk
mengajukan permintaan paten harus diminta kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Yang dimaksud dengan
memperluas lingkup perlindungan adalah menambah jumlah klaim. Hal ini tidak
diperbolehkan. Kadangkala penemu atau
orang yang berhak atas penemuan karena pertimbangan tertentu mengubah
permintaan paten yang telah diajukannya dan memecahnya menjadi beberapa
permintaan yang terpisah. Permintaan serupa itu
biasanya memecah pula klaim dalam penemuan yang dimintakan perlindungan. Hal ini dimungkinkan,
sejauh perlindungan yang diminta secara keseluruhan tidak melebihi lingkup
perlindungan yang semula diminta. Selain itu, klaim dalam penemuan yang
dimintakan perlindungan dengan permintaan yang terpisah tersebut, secara
keseluruhan harus tetap merupakan satu kesatuan penemuan. Dengan penarikan kembali
surat
permintaan paten, maka permintaan paten dianggap telah dibatalkan oleh orang
yang meminta. Mengenai kemungkinan
perpanjangan jangka waktu paten hanya satu kali untuk selama 2 (dua) tahun,
lihat pula Penjelasan Umum. Jangka waktu pengajuan
permintaan perpanjangan dimaksudkan untuk memberi waktu yang cukup bagi Kantor
Paten guna meneliti dan menilai permintaan tersebut. Pemegang Paten yang
mengajukan permintaan perpanjangan jangka waktu bagi patennya juga diwajibkan
untuk memenuhi secara lengkap persyaratan yang ditetapkan. Syarat mengenai
bukti penghasilan yang diperoleh dari pelaksanaan paten termasuk pula penghasilan
dari pelaksanaan paten di luar negeri. Kantor Paten tidak melayani permintaan
yang diajukan lewat batas yang ditentukan. Kewajiban ini bersifat
mutlak dan dimaksudkan terutama untuk menjamin kepentingan penemu atau orang
yang berhak atas penemuan terhadap segala bentuk pelanggaran haknya. Kewajiban
ini berlangsung sejak tanggal penerimaan surat
permintaan paten, selama penelitian awal dan terus berlangsung sampai dengan
tanggal dimulainya pengumuman. Khusus mengenai tanggal penerimaan surat permintaan paten tersebut, hal itu mengacu pada
tanggal diterimanya untuk pertama kali surat
permintaan paten oleh Kantor Paten, sekalipun kemudian ternyata masih terdapat
kekurangan syarat yang harus dipenuhi. Jadi tanggal tersebut bukan dalam arti
"filing date". Pengumuman suatu
permintaan paten dimaksudkan agar masyarakat luas mengetahui adanya permintaan
paten atas suatu penemuan. Ini berarti, masyarakat khususnya pihak yang
berkepentingan dengan adanya permintaan paten tersebut dapat memperoleh
kesempatan untuk memeriksa ada atau tidaknya pelanggaran terhadap hak yang
mungkin dimilikinya atau dimiliki orang lain dalam penemuan mereka, terutama
yang telah diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tetapi belum dimintakan
paten. Pengumuman dilakukan
dengan cara menempatkannya dalam papan pengumuman yang khusus disediakan dan
dapat dilihat dengan mudah oleh masyarakat luas atau dengan cara dan sarana
lain dengan maksud yang sama. Selain itu,
pengumuman juga dilakukan dengan menempatkannya dalam Berita Resmi Paten atau
Jurnal Paten, yang diterbitkan secara berkala oleh Kantor Paten. Pelaksanaan pengumuman
tersebut dilakukan setelah Kantor Paten berpendapat bahwa berdasar pemeriksaan,
segala persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31
terpenuhi dan permintaan tersebut tidak ditarik kembali. Kecuali jika permintaan
tersebut ditarik kembali, permintaan paten diumumkan selambat‑lambatnya 6
(enam) bulan sejak tanggal penerimaan permintaan paten (filing date). Sedangkan
bagi permintaan paten yang diajukan dengan hak prioritas, diumumkan selambat‑lambatnya
setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerimaan permintaan
paten yang pertama kali. Jangka waktu 6 (enam)
bulan tersebut dinilai cukup wajar sebagai pemberitahuan kepada masyarakat
mengenai adanya penemuan di sesuatu bidang teknologi yang dimintakan paten.
Jangka waktu tersebut juga untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengetahui, terutama bagi mereka yang mungkin berkepentingan dengan adanya
permintaan tersebut. Selanjutnya lihat kembali penjelasan Pasal 47. Jangka
waktu tersebut dihitung sejak tanggal mulai diumumkannya permintaan paten. Pengumuman tersebut
selain ditempatkan pada papan pengumuman, ditempatkan dalam Berita Resmi Paten,
dapat pula disebarluaskan oleh instansi yang bertugas di bidang penerangan. Mengenai penempatan
dalam Berita Resmi Paten, lihat kembali penjelasan Pasal 9 ayat (2). Apabila permintaan paten
yang diajukan dengan hak prioritas tersebut berpangkal pada sistem paten
internasional atau regional, maka dicantumkan pula Kantor Paten dan nama Negara
atau Negara‑negara di mana permintaan pertama tersebut diajukan. Pandangan atau keberatan
tersebut harus diajukan dalam jangka waktu pengumuman, yaitu 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. Lewat dari jangka waktu tersebut, maka
pandangan atau keberatan tidak dapat diterima. Dalam hal ini Kantor Paten
memberitahukan secara tertulis kepada orang yang mengajukan pandangan atau
keberatan bahwa hal tersebut telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan
dan karenanya tidak dapat
diterima dengan mengembalikan berkas atau surat
yang berisikan pandangan atau keberatan tersebut. Pandangan atau keberatan
tersebut harus secepatnya dikirimkan Kantor Paten kepada orang yang mengajukan
permintaan paten. Pengiriman oleh Kantor Paten tersebut tidak boleh ditunda‑tunda
karena pandangan dan keberatan tersebut sangat penting artinya bagi orang yang
mengajukan permintaan paten, sehingga dapat menggunakan haknya untuk memberikan
sanggahan dan penjelasan. Berbeda dengan pengajuan
pandangan atau keberatan yang terikat pada jangka waktu pengumuman, maka
penyampaian sanggahan dan penjelasan pada dasarnya tidak terikat pada jangka
waktu tersebut. Segala pandangan,
keberatan, sanggahan, ataupun penjelasan tersebut dijadikan tambahan
pertimbangan para Pemeriksa Paten dalam pemeriksaan permintaan paten yang
bersangkutan. Lebih lanjut lihat
penjelasan pasal‑pasal berikutnya mengenai pemeriksaan. Dalam melaksanakan
pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen permintaan paten, dapat saja Kantor
Paten menemukan bahwa sesuatu penemuan diperkirakan sangat penting artinya bagi
pertahanan keamanan Negara atau setidak‑tidaknya, kalau diketahui umum
dan dilaksanakan, dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap stabilitas
pertahanan keamanan Negara. Tersiarnya suatu penemuan serupa itu dikhawatirkan
akan mengganggu ketenteraman, ketertiban dan ketenangan masyarakat. Apalagi
bila penemuan tersebut kemudian dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab.
Untuk itu Kantor Paten diberi kewenangan untuk tidak mengumumkannya. Namun
demikian sebelum mengambil keputusan untuk itu Kantor Paten wajib meminta
persetujuan terlebih dahulu kepada Menteri. Untuk mengetahui
kebenaran perkiraan dan kekhawatiran tersebut, Kantor Paten mengadakan
konsultasi dengan instansi yang berwenang. Dengan sendirinya, hal itu sulit
dilakukan tanpa menyampaikan informasi mengenai penemuan tersebut. Pengungkapan
informasi ini, tidak dianggap sebagai pembocoran rahasia yang wajib
dipegangnya. Ketentuan ini, berlaku pula bagi instansi Pemerintah yang diminta
pertimbangan berikut aparatnya. Namun begitu, hal tersebut tetap terbatas
sejauh berlangsung di antara Kantor Paten dan instansi yang bersangkutan
termasuk aparat mereka dan tidak untuk diungkap kepada pihak ketiga lainnya. Kalau permintaan paten
tersebut diajukan sendiri oleh penemu, maka pemberitahuan tersebut disampaikan
kepada penemu. Tetapi dalam hal permintaan paten tersebut diajukan oleh
kuasanya, maka pemberitahuan disampaikan kepada kuasa yang bersangkutan dengan
tembusan kepada penemu. Apabila permintaan paten tersebut diajukan oleh kuasa
untuk dan atas nama orang yang berhak atas penemuan, maka tembusan surat pemberitahuan
disampaikan kepada orang yang berhak tersebut. Ayat (3) sampai dengan Ayat
(5) Lihat penjelasan Ayat
(1) Dengan ketentuan ini,
maka terhadap permintaan paten yang tidak diumumkanpun pada dasarnya diberikan
hak dan perlakuan yang sama, yaitu untuk diperiksa. Pemeriksaan yang dimaksud
adalah pemeriksaan yang bersifat substantif. Sekalipun begitu, untuk adanya
pemeriksaan itu sendiri harus diajukan permintaan. Dibanding dengan
permintaan paten yang lain, maka bedanya hanya pada tidak diumumkannya dokumen
permintaan paten tersebut. Selebihnya, diberlakukan ketentuan yang sama. Karena sifat penemuan
tersebut dinilai penting bagi pertahanan keamanan Negara, maka inisiatif
pemeriksaan ini datang dari Pemerintah. Oleh sebab itu Pemerintah pula yang
menanggung biaya pemeriksaan. Untuk menentukan apakah
permintaan paten untuk suatu penemuan dapat dikabulkan atau ditolak, diperlukan
pemeriksaan yang bersifat substantif. Tetapi untuk diadakannya pemeriksaan
tersebut, harus diajukan permintaan secara tertulis untuk itu kepada Kantor
Paten. Oleh karenanya, bila orang yang mengajukan permintaan paten tidak
meminta diadakannya pemeriksaan substantif, pada prinsipnya tidak akan
dilakukan pemeriksaan tersebut. Dengan begitu, tidak akan ada pemberian paten.
Permintaan pemeriksaan harus disertai pembayaran biaya yang ditentukan. Berbeda dengan
pemeriksaan yang bersifat formal, yaitu menyangkut kelengkapan syarat‑syarat
berdasar Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31, pemeriksaan substantif ini menentukan
dapat diberikan atau ditolaknya permintaan paten. Pemeriksaan ini lebih
tertuju pada hal‑hal yang bersifat substantif, yaitu apakah penemuan
benar‑benar baru, mengandung langkah‑langkah inventif dan mungkin
atau tidaknya diterapkan dalam proses industri. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberikan keseragaman tentang bentuk permintaan. Dengan
demikian, selain memudahkan pihak yang meminta, juga mempercepat proses yang
harus dilakukan oleh Kantor Paten. Karena sifatnya teknis,
maka pengaturan masalah ini diserahkan kepada Menteri. Permintaan untuk
dilakukannya pemeriksaan substantif baru dapat diajukan setelah selesainya masa
pengumuman yang berlangsung selama 6 (enam) bulan. Sebaliknya, permintaan
pemeriksaan itupun pengajuannya memiliki batas waktu. Permintaan tersebut
terakhir hanya dapat diajukan sebelum lewat waktu 36 (tiga puluh enam) bulan
sejak tanggal penerimaan permintaan paten oleh Kantor Paten. Ketentuan ini berlaku
pula bagi permintaan paten yang diajukan dengan hak prioritas. Adalah mungkin bahwa
bidang keahlian yang diperlukan bagi pelaksanaan pemeriksaan substantif sesuatu
penemuan yang dimintakan paten, tidak atau kurang dikuasai oleh Pemeriksa
Paten. Begitu pula, fasilitas yang diperlukan untuk mengadakan pemeriksaan
secara baik, dimiliki oleh instansi atau lembaga lain. Dalam hal demikian,
Kantor Paten dapat minta bantuan ahli dan atau menggunakan fasilitas dari
instansi atau lembaga lain tersebut. Tidak menjadi masalah, apakah bantuan ahli
dan atau fasilitas seperti itu dimiliki oleh unit‑unit penelitian dan
pengembangan di lingkungan Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Universitas atau Institut atau lain‑lainnya. Hal ini tidak berarti
bahwa pemeriksaan lantas dilaksanakan oleh pihak‑pinak lain dan bukan
oleh Kantor Paten. Pemeriksaan tetap dilakukan oleh Kantor Paten. Badan atau
instansi yang memiliki tenaga ahli atau fasilitas yang diperlukan, hanyalah
sekedar membantu. Tanggung jawab dan
kewenangan, masih tetap ada pada Kantor Paten. Bantuan tersebut diperlukan
untuk memperlancar dan mempercepat jalannya pemeriksaan. Keputusan akhir
tentang dapat diberi atau ditolaknya permintaan paten, dengan begitu tetap ada
pada Kantor Paten. Dalam hal Kantor Paten
menggunakan bantuan ahli dan atau fasilitas yang ada pada instansi lainnya,
maka mereka yang terlibat secara keseluruhan terikat dengan kewajiban
untuk menjaga kerahasiaan penemuan dan segala dokumen permintaan paten, termasuk
penjelasan atau informasi yang telah diberikan untuk melengkapinya. Pemeriksaan substantif
atas permintaan paten hanya dilakukan oleh Pemeriksa Paten. Mereka adalah
tenaga ahli yang secara khusus dididik untuk itu, dan khusus diangkat untuk
tugas itu pula. Pada umumnya, mereka adalah pejabat di lingkungan Kantor
Paten. Tetapi mungkin saja, tenaga ahli seperti itu berasal dari instansi
Pemerintah lainnya, sejauh mereka juga pernah dididik secara khusus dan
karenanya memiliki kualifikasi sebagai Pemeriksa Paten, serta diangkat sebagai
Pemeriksa Paten. Lihat penjelasan ayat (1) Karena sifat keahlian
dan lingkup pekerjaan yang bersifat khusus, sudah sepantasnya bila jabatan
Pemeriksa Paten diberi status sebagai jabatan fungsional. Lebih dari itu, pada
dasarnya mereka memang semata‑mata bekerja karena keahlian. Status ini perlu
diberikan dalam rangka pembinaan karier mereka, sehingga tidak tertinggal oleh
rekan mereka yang bekerja dalam satuan organisasi yang memiliki jenjang jabatan
yang bersifat struktural. Dalam rangka pembinaan
itu pula, kepada para Pemeriksa Paten tersebut diberikan penjenjangan jabatan
fungsional dan tunjangan yang bersifat khusus, di samping hak‑hak lainnya
yang lazim diterima oleh pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang‑
undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan
ketidak‑jelasan atau kekurangan yang dinilai penting misalnya klaim yang
tidak jelas, deskripsi yang dirasakan tidak mendukung, termasuk gambar dan cara
pelaksanaan penemuan. Bilamana hal‑hal di atas kemudian dipandang perlu
untuk diketahui lebih lanjut dalam rangka penyempurnaan, maka masalahnya
diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Paten kepada orang yang mengajukan
permintaan paten. Dalam hal diperlukan
perbaikan atau perubahan, yang dimaksud antara lain penyempurnaan atau
perubahan klaim, deskripsi, termasuk gambar‑gambar yang diperlukan dan
uraian tentang cara pelaksanaan penemuan. Ketentuan yang dimaksud
adalah mengenai syarat‑syarat bahwa penemuan harus merupakan hal yang
benar‑benar baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam
proses industri. Paten lazimnya diberikan
berupa surat
yang bentuk dan isinya tertentu. Karenanya, paten seringkali disebut pula Surat
Paten. Langkah ini dimaksudkan
sebagai perwujudan salah satu fungsi paten sebagai sumber informasi mengenai
teknologi. Yang dimaksud dengan dokumen paten adalah surat paten beserta lampirannya yang antara
lain meliputi deskripsi, gambar dan abstraksi. Bagi anggota masyarakat
yang menginginkannya, dapat meminta salinan dokumen paten tersebut kepada
Kantor Paten dengan membayar biaya yang besarnya akan ditetapkan oleh Menteri. Berbeda dengan Buku
Resmi Paten dimana setiap permintaan paten dicatat, maka Daftar Umum Paten
khusus diadakan bagi pencatatan setiap paten yang diberikan oleh Kantor Paten. Lihat penjelasan ayat (1) Pengumuman dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yaitu menempatkannya pada papan
pengumuman dan pada Berita Resmi Paten. Tanggal pemberian paten
dinyatakan dengan jelas dan tegas dalam Surat Paten. Dengan berlaku surutnya
paten yang diberikan sejak tanggal penerimaan permintaan paten berarti
perlindungan terhadap penemuan berlaku surut pula sejak tanggal tersebut. Dengan penegasan ini
maka Pemegang Paten mempunyai hak untuk menuntut dihentikannya kegiatan
pemakaian penemuan, penjualan dan lain‑lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22. Tuntutan serupa itu diajukan kepada Pengadilan Negeri setempat.
Apabila setelah diajukannya tuntutan tersebut kegiatan pemakaian, penjualan dan
lain‑lain tersebut di atas masih tetap berlangsung, Pemegang Paten dapat
mengajukan tuntutan atas dasar pelanggaran hak Pemegang Paten. Dalam Surat Paten antara
lain dimuat hal‑hal pokok mengenai penemuan, klaim, nama Pemegang Paten
lengkap dengan alamat yang jelas dan tetap, penemu, tanggal pemberian paten dan
nomor paten yang bersangkutan. Mengenai masalah nomor
paten ini, penggunaan dalam arti pencantumannya pada produk yang dihasilkan
atau kemasannya pada dasarnya diserahkan kepada Pemegang Paten yang
bersangkutan atau yang menerima lebih lanjut hak tersebut. Permintaan banding
dengan demikian hanya dapat diajukan dalam hal penolakan terhadap permintaan
paten karena alasan atau pertimbangan yang bersifat substantif dan menjadi
dasar penolakan tersebut. Jadi bukan dalam hal penolakan karena alasan lain
seperti misalnya diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 38. Alasan atau pertimbangan
yang bersifat substantif tersebut adalah alasan atau pertimbangan yang
digunakan Pemeriksa Paten dan kemudian menghasilkan penilaian bahwa penemuan
yang bersangkutan bukanlah merupakan hal yang baru, tidak mengandung langkah
inventif dan tidak pula dapat diterapkan dalam proses industri. Dengan demikian banding
tidak dapat diminta dalam hal penolakan yang disebabkan karena tidak
dilakukannya perbaikan atau penyempurnaan klaim yang disarankan selama
pemeriksaan substantif. Banding juga tidak dapat dimintakan karena dianggap
ditariknya kembali permintaan paten sebagai hasil pemeriksaan awal sebelum
permintaan paten diumumkan. Begitu pula, banding tidak dapat dimintakan karena
ditolaknya permintaan paten oleh sebab tidak dimintakan pemeriksaan substantif
sampai dengan batas waktu yang ditetapkan untuk itu. Komisi Banding Paten
adalah badan yang secara khusus dibentuk untuk memeriksa permintaan banding
atas penolakan terhadap permintaan paten dan memberikan hasil pemeriksaan
kepada Kantor Paten. Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Banding Paten bekerja
berdasarkan keahlian dan tidak tunduk kepada perintah atau kemauan siapapun
yang memimpin Departemen ataupun Kantor Paten. Komisi Banding Paten
beranggotakan beberapa orang ahli di bidang yang diperlukan dan pemeriksa paten
senior. Kecuali Ketua yang juga merangkap anggota, para anggota Komisi Banding
Paten diangkat setiap kali ada permintaan banding hanya untuk memeriksa
permintaan banding yang bersangkutan. Alasan, penjelasan atau
bukti yang disertakan dalam permintaan banding harus bersifat pendalaman atas
alasan penjelasan atau bukti yang telah atau seharusnya telah disampaikannya.
Sebab, kesempatan untuk memberikan kelengkapan alasan atau penjelasan atau
bukti, sebenarnya telah diberikan sewaktu pemeriksaan substantif berlangsung. Larangan ini untuk
mencegah timbulnya kemungkinan bahwa banding sekedar digunakan sebagai alat
untuk melengkapi kekurangan dalam permintaan paten, sementara hal itu sebenarnya
telah diberikan dalam tahap sebelumnya. Keputusan Komisi Banding
Paten diberikan selambat‑lambatnya 12 (dua belas) bulan, artinya dapat
pula kurang dari waktu tersebut. Sifat keputusan Komisi
Banding Paten ini final, artinya tidak dapat dimintakan peninjauan lebih lanjut
kepada lembaga atau pejabat lainnya. Hal ini dilandaskan pada pertimbangan
bahwa penilaian atas penemuan di bidang teknologi seperti ini, menyangkut
pertimbangan yang sangat bersifat teknis. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa
keputusan mengenai diberi atau tidak diberinya paten atas sesuatu penemuan,
tidak dikaitkan dengan kewenangan tata usaha Negara pada umumnya yang kemudian
dapat dijadikan obyek atau lingkup perkara Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan
menerima permintaan banding adalah mengabulkan permintaan banding tersebut,
dengan demikian Kantor Paten memberikan Surat Paten. Pemberitahuan penolakan
tersebut disampaikan kepada orang yang mengajukan permintaan banding. Dalam hal
permintaan banding diajukan oleh kuasanya, maka pemberitahuan tersebut
disampaikan kepada kuasa yang bersangkutan dan salinan diberikan kepada orang
yang memberi kuasa. Seperti halnya Hak Cipta
dan Merek Dagang, paten pada dasarnya adalah hak milik perorangan yang tidak
berwujud dan timbul karena kemampuan intelektual manusia. Sebagai hak milik,
paten dapat pula dialihkan oleh penemunya atau yang berhak atas penemuan itu.
Paten dapat dialihkan kepada perorangan atau kepada badan hukum. Paten beralih
atau dialihkan baik dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, maupun dengan cara
perjanjian. Khusus mengenai
pengalihan dengan perjanjian ini ditentukan, bahwa hal itu harus dituangkan
dalam bentuk Akta Notaris. Hal ini mengingat begitu luasnya aspek yang
terjangkau oleh paten sebagai hak. Adapun sebab lain yang dibenarkan oleh
Undang‑undang misalnya pemilikan paten karena pembubaran badan hukum yang
semula merupakan Pemegang Paten. Sifat pendaftaran pada
Kantor Paten tersebut adalah wajib, sebab paten merupakan hak milik yang
diberikan oleh Negara dan pemakaian atau pemanfaatannya dibatasi dengan kurun
waktu tertentu. Begitu pula pelaksanaannya, karenanya setiap peralihannya perlu
dicatat dalam Daftar Umum Paten. Biaya pendaftaran dan pencatatan dibebankan
kepada pihak yang menerima pengalihan. Hak sebagai penemu
terdahulu tidak dapat dialihkan karena memang bukan merupakan hak khusus
seperti halnya paten. Berbeda dengan
pengalihan paten di mana pemilikan hak juga beralih, maka perlisensian melalui
suatu perjanjian pada dasarnya hanya
bersifat pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi daripada paten, dalam
jangka waktu tertentu dan syarat tertentu pula. Kadang‑kadang
perjanjian lisensi dibuat khusus, artinya lisensi hanya diberikan kepada
pemegangnya. Bilamana dimaksudkan demikian maka hal itu harus secara tegas
dinyatakan dalam perjanjian lisensi. Apabila tidak, maka perjanjian lisensi
paten dianggap tidak memakai syarat seperti itu.Undang‑undang ini
menganut faham yang demikian itu. Oleh karenanya Pemegang Paten pada dasarnya
masih boleh melaksanakan sendiri paten yang dilisensikannya, atau memberi
lisensi yang sama kepada pihak ketiga lainnya. Ketentuan ini dengan
demikian dimaksudkan. untuk mencegah berlangsungnya keadaan dimana perjanjian
lisensi kemudian selalu dianggap bersifat eksklusif. Paten merupakan salah
satu sumber informasi teknologi yang sangat penting. Perlisensian yang
berlangsung dengan syarat yang kurang atau sama sekali menutup jalan kearah
penguasaan teknologi dalam paten, hanya akan menghambat pengembangan kemampuan
bangsa Indonesia
dalam mengetahui dan menguasai teknologi yang bersangkutan. Dalam kerangka fikir
bahwa teknologi sangat penting dan besar artinya terhadap kehidupan dan
kemajuan industri, maka adanya ketentuan serupa itu praktis tidak bermanfaat
bagi perekonomian nasional. Penolakan permintaan
pendaftaran dan pencatatan tersebut, dengan memperhatikan penjelasan ayat (1),
memang sudah seharusnya ditolak oleh Kantor Paten. Seperti halnya
pengalihan pemilikan, perjanjian lisensi juga wajib didaftarkan dan dicatat. Istilah Lisensi Wajib
(non voluntary license/compulsory license) lebih mengacu pada mekanisme, di
mana dalam kondisi tertentu dan atas dasar syarat serta cara yang tertentu
pula, suatu paten berdasarkan putusan Pengadilan Negeri setelah mendengar
Pemegang Paten dapat dilaksanakan oleh pihak lain yang meminta. Yang dimaksud dengan
mendengar Pemegang Paten adalah mendengar penjelasan Pemegang Paten di depan
sidang Pengadilan Negeri mengenai hal‑hal yang berkaitan dengan alasan
diajukannya permintaan Lisensi Wajib sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 ayat (2). Dengan demikian permintaan dan pemberian Lisensi Wajib pada
dasarnya berlangsung dengan sepengetahuan Pemegang Paten. Yang dimaksud dengan
orang adalah perorangan atau badan hukum. Dengan ketentuan ini, maka penilaian
apakah suatu paten tidak dilaksanakan di Indonesia oleh Pemegang Paten dan
inisiatif untuk melaksanakannya, diserahkan kepada masyarakat khususnya
masyarakat industri dan bukan kepada Negara. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mendorong kemungkinan pemakaian paten secara luas dan
bermanfaat bagi masyarakat dan sekaligus menutup kemungkinan dimanfaatkannya
sistem paten untuk tujuan yang sempit dan bertentangan dengan maksud Undang‑undang
ini. Permintaan lisensi dalam
rangka Lisensi Wajib ini hanya diajukan kepada Pengadilan Negeri dan bukan
kepala Kantor Paten. Yang dimaksud dengan
tidak dilaksanakan adalah, bahwa dalam waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak
tanggal paten diberikan Kantor Paten, paten yang bersangkutan tidak juga
digunakan untuk membuat produk, padahal kebutuhan masyarakat akan produk yang
bersangkutan sangat besar. Ketentuan ini
bersangkutan dengan kondisi yang harus dipersiapkan, yaitu tersedianya hakim
yang memiliki pengetahuan dan penguasaan masalah paten dengan segala aspek
hukum, sosial, ekonomi dan teknisnya. Untuk itu, pada tahap pertama kepada
Pemerintah diberi kewenangan untuk menetapkan Pengadilan Negeri tertentu yang
dapat menerima permintaan lisensi seperti itu. Selain pembuktian
mengenai kebenaran alasan tentang tidak dilaksanakannya paten dalam jangka
waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal diberikannya paten, permintaan
Lisensi Wajib harus dilengkapi dengan bukti mengenai hal‑hal yang diatur
dalam ayat ini. Perlunya bukti yang meyakinkan bahwa orang yang meminta harus
mempunyai kemampuan finansiil dan teknis untuk melaksanakan sendiri paten
tersebut, dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan yang dapat pula merusak
sistem paten dan menggunakannya untuk tujuan antara, lain persaingan yang tidak
sehat atau sekedar menjadi perantara saja. Pengadilan Negeri juga
harus meneliti dengan benar apakah permintaan lisensi Wajib tersebut dapat
dilaksanakan orang yang meminta dalam skala ekonomi yang layak dan dapat
memberikan kemanfaatan kepada sebagian besar masyarakat. Dapat dilaksanakan dalam
skala ekonomi yang layak, artinya paten tersebut dapat digunakan untuk
menghasilkan barang dalam jumlah dan tingkat harga yang sebanding dengan
kebutuhan dan kondisi pasar. Pendapat ahli dari
Kantor Paten dan pendapat Pemegang Paten tersebut diperlukan agar Pengadilan
Negeri dapat mempertimbangkan dan memutuskan secara obyektif dan benar. Ahli
tersebut dapat berasal dari Kantor Paten atau dari instansi Pemerintah yang
terkait atas permintaan Kantor Paten. Keputusan Pengadilan
Negeri dapat saja lebih pendek dari jangka waktu yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah dan hal itu tergantung dari hasil pemeriksaan selama persidangan. Pada dasarnya, jangka
waktu untuk pelaksanaan paten berdasar Lisensi Wajib ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Selain masalah jangka waktu, dalam Peraturan Pemerintah tersebut
diatur pula ketentuan antara lain mengenai tata cara dengar pendapat, dasar dan
cara penetapan besarnya royalti, pendaftaran Lisensi Wajib dan pembatalan
Lisensi Wajib. Penundaan tersebut dapat
berlangsung selama waktu yang dinilai wajar untuk melihat dan memberi
kesempatan kepada Pemegang Paten bahwa ia benar‑benar berusaha dan dapat
menunjukkan bukti nyata mengenai kegiatan dan hasil pelaksanaan patennya. Bilamana demikian
halnya, Pengadilan Negeri selanjutnya dapat menolak permintaan lisensi. Tetapi kalau sampai
akhir penundaan tersebut memang terbukti lain, atau selama waktu penundaan
tidak ada tanda‑tanda atau bukti akan mampu dilaksanakannya paten
tersebut secara komersial, Pengadilan membuka kembali persidangan dan
melanjutkan pemeriksaan terhadap permintaan lisensi. Royalti adalah sejumlah
uang yang dibayarkan oleh Pemegang Lisensi Wajib kepada Pemegang Paten. Perjanjian lain yang
sejenis, maksudnya adalah perjanjian yang lazim dibuat dalam pengalihan
kemampuan atau pengetahuan tentang teknologi yang tidak dipatenkan. Mengenai bentuk imbalan
dan cara pembayarannya lihat pula ketentuan Pasal 13. Biaya tersebut adalah
untuk pendaftaran dan untuk pemeliharaan catatan untuk setiap tahun selama
jangka waktu berlakunya lisensi tersebut. Keadaan ini biasanya
terjadi dalam pelaksanaan paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau
pengembangan penemuan yang lebih dahulu telah dilindungi paten. Oleh karenanya,
pelaksanaan paten yang baru tersebut berarti melaksanakan sebagian atau seluruh
penemuan yang telah dilindungi paten yang dipegang oleh orang lain. Apabila Pemegang Paten
terdahulu memberi lisensi bagi pelaksanaan paten yang merupakan hasil
penyempurnaan atau pengembangan berikutnya, jelas tidak menjadi masalah. Tetapi kalau lisensi
untuk itu tidak diberikan, semestinya Undang‑ undang ini menyediakan
jalan keluarnya. Oleh karenanya, agar
paten yang diberikan belakangan dapat dilaksanakan, sudah sewajarnya bila yang
terakhir ini juga dimungkinkan untuk melaksanakannya tanpa melanggar paten yang
terdahulu. Hal itu hanya dapat terlaksana apabila Lisensi Wajib diberikan oleh
Pengadilan. Contoh mengenai hal ini adalah sebagai berikut : Paten A terdiri atas 4
klaim, yang seluruhnya merupakan satu kesatuan. Paten B, yang diperoleh
sesudah paten A, pada dasarnya berisikan 3 klaim yang pada hakekatnya merupakan
penyempurnaan dan pengembangan 3 klaim diantara 4 klaim dalam paten A. Sebagai
hasil penyempurnaan dan pengembangan, sudah barang tentu paten B memiliki basis
teknologi yang ada pada paten A. Seandainya Pemegang Paten B bermaksud akan
melaksanakan patennya, hal tersebut akan sulit tanpa melanggar salah satu klaim
dalam paten A. Bila Pemegang Paten A
memberikan lisensi kepada Pemegang Paten B untuk melaksanakan satu klaim
miliknya, jelas tidak akan timbul masalah. Tetapi kalau Pemegang Paten A tidak
bersedia memberikan lisensi maka satu‑satunya jalan bagi Pemegang Paten B
adalah meminta Lisensi Wajib kepada Pengadilan Negeri. Alasan yang dijadikan
dasar bagi pemberian Lisensi Wajib adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 82
ayat (2). Syarat dan ketentuan
yang dimaksud adalah sebagaimana antara lain diatur dalam Pasal 83
ayat (1) dan Pasal 85. Ayat (2) dan ayat (3) Pemberitahuan putusan
pembatalan Lisensi Wajib oleh Pengadilan Negeri dan pemberitahuan pencatatan
serta pengumuman oleh Kantor Paten harus dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin.
Oleh karena putusan pembatalan tersebut hanya menyangkut lisensi Wajib yang
pernah diberikan putusan oleh Pengadilan Negeri atas permintaan bekas Pemegang
Lisensi Wajib yang bersangkutan dan pemberian atau pembatalannya juga terikat
pada syarat tertentu, maka pembatalan tersebut tidak dimintakan banding dan
kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125. Pada prinsipnya Lisensi
Wajib tidak dapat dialihkan. Sebab, lisensi seperti ini hanya diberikan dalam
keadaan khusus, dan terikat pada syarat‑syarat yang khusus pula dalam
pelaksanaannya. Dikecualikan dari
ketentuan tersebut adalah dalam hal pewarisan, yaitu orang perorangan yang
memperoleh lisensi tersebut meninggal dunia. Bagi badan hukum, tidak
berlaku ketentuan tentang pewarisan. Agak berlainan halnya
dengan Lisensi Wajib yang dimintakan dalam kaitannya dengan pelaksanaan suatu
paten, seperti yang diatur dalam Pasal 88. Dalam hal ini, pengalihan tetap
dapat berlangsung. Sebab, yang dialihkan adalah paten yang baru, yang
pelaksanaannya tidak mungkin dapat berlangsung tanpa melanggar paten yang lama
dan untuk itu dimintakan Lisensi Wajib. Bagi badan yang baru
tadi, ketentuan tentang dapat berlakunya paten sebagaimana diatur dalam Pasal
73 berlaku sepenuhnya. Dalam hal beralihnya
Lisensi Wajib berlangsung karena pewarisan, maka pelaksanaannya oleh ahli waris
tetap terikat pada syarat‑syarat pemberiannya dan ketentuan
lainnya, serta berlangsung untuk sisa jangka waktu yang masih ada. Selain itu, beralihnya
Lisensi Wajib karena pewarisan tersebut harus dilaporkan kepada Kantor Paten
untuk selanjutnya dicatat. Karena pelaksanaan paten
serupa ini sangat tergantung pada persetujuan Pemerintah, maka tidak
dilaksanakannya paten tersebut selama jangka waktu 48 (empat puluh delapan)
bulan sejak pemberian paten tidak dianggap sebagai tidak dilaksanakannya paten
yang bersangkutan. Karena paten pada
dasarnya hak yang diterima dari Negara untuk selama jangka waktu tertentu, maka
kalau yang bersangkutan tidak menghendaki hak tersebut lebih lanjut, dapat saja
Negara membatalkan hak yang telah diberikannya. Permintaan untuk itu
diajukan oleh Pemegang Paten secara tertulis kepada Kantor Paten. Persetujuan Pemegang
Lisensi dalam pembatalan paten dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
Pemegang Lisensi. Lihat penjelasan ayat (2) Termasuk pula dalam
pengertian ini adalah paten yang sudah ada tetapi kemudian penggunaan,
pengumuman atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang‑undangan,
ketertiban umum atau kesusilaan. Paten serupa ini dapat pula digugat
pembatalannya. Gugatan pembatalan ini
biasanya ditujukan terhadap paten yang diberikan belakangan kepada orang lain,
tetapi untuk penemuan yang sebenarnya sama. Penentuan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk melayani gugatan serupa ini, dimaksudkan untuk
memusatkan pemeriksaan mengingat penyelesaiannya sangat memerlukan data dan
penjelasan dari Kantor Paten. Lihat pula penjelasan Ayat
(2) Apabila ada klaim yang
dimintakan pembatalan karena alasan seperti yang diatur dalam Pasal 95, dan
kemudian dinyatakan benar, maka pembatalan hanya ditujukan terhadap klaim yang
dimintakan pembatalan. Dalam hal ini, berarti
sebagian paten dibatalkan. Sekalipun gugatan
tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disampaikan kepada Kantor Paten,
tetapi penyampaian tersebut lebih bersifat pemberitahuan. Pemanggilan untuk
pemeriksaan sehubungan dengan adanya gugatan tersebut, tetap dilakukan sendiri
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Begitu pula halnya
dengan penyampaian putusan. Sejauh mengenai hak
Pemegang Lisensi berkenaan dengan pembatalan paten, periksa penjelasan Pasal
berikut. Keputusan mengenai
batalnya paten, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian, tidak mulai
berlaku sejak adanya pemberitahuan Kantor Paten atau tanggal pencatatannya
dalam Daftar Umum Paten ataupun tanggal pengumumannya. Yang digunakan untuk
titik tolak pada dasarnya adalah tanggal putusan pengadilan, kecuali bilamana
dalam putusan itu ditetapkan tanggal yang lain. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa pencatatan dan lain‑lain oleh Kantor Paten, biasanya
baru berlangsung beberapa waktu setelah putusan Pengadilan. Dengan begitu,
perlindungan terhadap pihak lain dapat diberikan sedini mungkin. Ketentuan ini merupakan
perlindungan terhadap Pemegang Lisensi. Bagi Pemegang Lisensi Paten
yang dibatalkan, pada dasarnya terus dapat melaksanakan hak yang diperolehnya.
Bedanya, lisensi tersebut menjadi lisensi atas paten lainnya yang tidak
dibatalkan. Kewajiban pembayaran
royalti berikutnya berpindah kepada Pemegang Paten yang tidak dibatalkan. Kewenangan ini terbatas
hanya apabila paten mempunyai arti yang penting bagi penyelenggaraan pertahanan
keamanan Negara. Dengan sendirinya, paten yang dimaksud adalah paten yang
diberikan di Indonesia
saja. Karena pertahanan
keamanan Negara menyangkut kepentingan Nasional, maka adalah wajar bila
Pemerintah diberi kewenangan untuk melaksanakannya. Masalahnya bukan sekedar
kelangsungan hidup Negara, atau semakin kuatnya Negara di mana paten yang
bersangkutan diberikan dan dilindungi, tetapi hal ini juga merupakan salah satu
sisi daripada fungsi sosial suatu paten di Indonesia. Namun begitu, bilamana
suatu paten atau pelaksanaannya sekedar memiliki kaitan dengan kebutuhan
penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara, tetapi tidak mempunyai
arti/pengaruh yang penting dan karenanya tidak diperlukan sekali, Pemerintah
tidak perlu menggunakan kewenangan ini. Sekalipun kewenangan
untuk melaksanakan sendiri paten tersebut diberikan, tetapi hal itu tidak
berarti bahwa keputusan untuk itu dapat dilakukan setiap orang dalam
pemerintahan. Keputusan untuk itu hanya dapat diberikan oleh Presiden, setelah
mendengar pertimbangan Menteri dan Menteri yang bertanggung‑ jawab di
bidang pertahanan keamanan Negara. Dengan begitu ketentuan ini merupakan
pembatasan pertama terhadap kewenangan tersebut, sehingga tidak digunakan
secara merugikan penemu atau yang berhak atas penemuan. Ketentuan ini khusus
untuk penemuan yang belum diberi paten, tetapi proses permintaannya sedang
berlangsung. Penemuan yang dalam pemeriksaan awal sudah dapat diketahui
memiliki arti penting bagi penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara, atau
pelaksanaannya akan sangat penting arti dan pengaruhnya terhadap pertahanan
keamanan Negara, menurut Pasal 52 tidak boleh diumumkan. Sekalipun menurut
ketentuan Pasal 53 terhadap penemuan serupa itu pada saatnya dan apabila
diminta juga akan dilakukan pemeriksaan substantif, tetapi bila kepentingan
seperti itu timbul, Negara tetap dapat melaksanakan penemuan tersebut. Pembebasan kewajiban
pembayaran biaya pemeliharaan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
pelaksanaan paten tersebut sangat tergantung kepada persetujuan Pemerintah. Pemberitahuan dilakukan secara
tertulis dan disampaikan kepada Pemegang Paten yang bersangkutan dalam waktu
yang secukupnya, setelah mendengar pendapat dan saran Pemegang Paten yang
bersangkutan. Apabila suatu paten di
Indonesia dianggap penting artinya oleh Pemerintah bagi penyelenggaraan
pertahanan keamanan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, paten tersebut
dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah dalam jangka waktu tertentu dengan
mempertimbangkan aspek keamanan. Apabila Pemerintah tidak
lagi bermaksud melaksanakan sendiri paten tersebut sedangkan jangka waktu paten
belum berakhir maka hak Pemegang Paten atas patennya menjadi pulih. Dalam hal
demikian Pemegang Paten yang bersangkutan dapat melaksanakan sendiri atau
memberi lisensi kepada pihak lain dan untuk itu harus mendapat persetujuan
Pemerintah. Imbalan yang diberikan
Pemerintah kepada Pemegang Paten lebih berarti sebagai kompensasi yang besarnya
disamakan dengan pemakaian atas dasar lisensi dalam suatu kegiatan ekonomi pada
umumnya. Imbalan dalam hal ini
lebih berarti sebagai kompensasi daripada sebagai royalti, oleh karena itu
imbalan yang wajar harus diberikan. Penghitungannya,
dilakukan dengan memperhatikan cara yang lazim digunakan dalam praktek
pemberian lisensi, termasuk komponen harga yang biasa digunakan dalam cara
perhitungan tersebut yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Termasuk dalam
pengaturan ini adalah kemungkinan pemberian semacam imbalan tambahan dalam
bentuk hadiah atau bonus atau apapun yang sejenis bilamana keadaan tertentu
dari pelaksanaan paten tersebut ternyata diperoleh manfaat ekonomi yang
besarnya melebihi perkiraan awal. Hal ini penting, karena
pemikiran yang mendasari pemberian kewenangan seperti ini sama sekali jauh dari
perampasan hak atau penyitaan kekayaan seseorang. Oleh sebab itu, cara
penyampaiannya perlu pula dilakukan secara sederhana, cepat dan langsung. Keputusan Pemerintah
dalam bidang ini adalah benar‑benar untuk kepentingan pertahanan keamanan
Negara. Proses penilaian dan
pertimbangan berlangsung secara cermat, berjenjang dan berakhir hingga
keluarnya Keputusan Presiden. Mengingat kepentingan yang diwakili Pemerintah
lebih menguatkan keselamatan, kebutuhan, ketentraman dan ketertiban kehidupan
seluruh penduduk Negara, maka keputusan Pemerintah bersifat final. Ketentuan dalam Bab ini
barulah bersifat pokok. Karena menyangkut hak seseorang, sudah sepantasnya
bilamana ketentuan ini segera diikuti ketentuan yang lebih bersifat rinci dan
mampu memberikan kejelasan operasionalisasinya. Karena proses
penemuannya berlangsung sederhana dan hasil yang diperoleh juga bersifat
sederhana, maka penemuan yang dihasilkan biasanya hanya berisikan 1 (satu)
klaim. Dengan ketentuan ini
maka terhadap setiap permintaan Paten Sederhana secara langsung dilakukan
pemeriksaan substantif tanpa perlu adanya pengumuman. Sekalipun demikian
syarat kelengkapan sebagaimana lazimnya
permintaan paten pada dasarnya tetap harus dipenuhi. Karena Paten sederhana
ini menyangkut teknologi yang proses penemuannya berlangsung sederhana, maka
tidak diperlukan adanya mekanisme banding seperti halnya paten pada umumnya. Dari segi ekonomi dan
jangka waktu perlindungan yang relatif pendek, proses yang semakin panjang
tidak pula menguntungkan bagi penemu itu sendiri. Lihat penjelasan Pasal 10. Karena hasil penemuan
tersebut bersifat sederhana, sudah sepantasnya pula bila prosedur perolehan
Paten Sederhana juga dibuat sederhana. Artinya, lebih sederhana
kalau dibanding dengan prosedur perolehan paten. Begitupula untuk hal‑hal
lainnya, yang pada dasarnya perlu dibedakan misalnya pengenaan biaya
pemeriksaan dan lain‑lain yang dipandang perlu. Biaya yang dibayarkan
tersebut dan biaya lainnya yang ditentukan dalam Undang‑undang ini
merupakan penerimaan Negara. Contoh pembayaran biaya
tahunan tersebut adalah : A memperoleh Paten pada
tanggal 1 Januari 1980 maka kewajiban pembayaran biaya tahunan yang pertama
harus dipenuhi selambat‑lambatnya tanggal 31 Desember 1980 tersebut. Untuk
biaya tahunan tiap‑tiap tahun berikutnya harus dibayar selambat‑lambatnya
tanggal 1 Januari setiap tahun. Ayat (1) dan Ayat (2) Jangka waktu 3 (tiga)
tahun tersebut didasarkan atas pertimbangan untuk memberikan kesempatan yang
cukup kepada Pemegang Paten untuk mempertimbangkan sendiri kelangsungan
patennya. Pembatalan paten karena tidak membayar biaya tahunan diberitahukan
oleh Kantor Paten kepada Pemegang Paten secara tertulis. Dalam pemberitahuan
tersebut dimuat tanggal berakhirnya paten yang bersangkutan sesuai dengan
ketentuan Pasal ini. Pengenaan biaya tambahan
sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) untuk tiap tahun tersebut dimaksudkan agar Pemegang Paten benar‑benar
memperhatikan kewajibannya. Ayat (1) dan Ayat (2) Penyelenggaraan
administrasi tersebut meliputi penyelenggaraan dokumentasi dan pelayanan
informasi paten. Sebagai salah satu
sumber informasi teknologi, paten merupakan sarana bagi peningkatan penguasaan
dan kemampuan bangsa di bidang teknologi. Oleh karenanya, masalah dokumentasi
dan informasi paten memiliki arti dan peran yang sangat penting bahkan
strategis. Untuk itu, Kantor Paten perlu diberi dorongan untuk menyusun sistem
dokumentasi dan khususnya sistem jaringan informasi yang saling terkait dan
kuat. Dalam rangka ini, Kantor
Paten memanfaatkan kemampuan dan fasilitas yang dimiliki instansi lainnya baik
milik Pemerintah maupun swasta dengan kerjasama sebaik‑baiknya dalam
mewujudkan sistem tersebut. Selain itu, terbinanya
dokumentasi dan sistem jaringan informasi yang baik dan tangguh, juga
bermanfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas Kantor Paten itu sendiri, terutama
dalam melakukan pemeriksaan paten. Masih dalam rangka pembangunan dan
pengembangan sistem dokumentasi dan informasi paten secara nasional, Kantor
Paten memanfaatkan kesempatan bantuan teknik dan kerjasama luar negeri. Sekalipun pembinaan
Kantor Paten pada dasarnya dilakukan oleh Menteri, tetapi mengingat paten
memiliki segi‑segi yang sangat luas baik di bidang sosial‑budaya,
ekonomi, politik dan pertahanan keamanan Negara, maka dalam pelaksanaan
tugasnya Kantor Paten harus selalu memperhatikan pula kepentingan dan
kecenderungan yang berlangsung di bidang di atas. Karenanya, Kantor Paten wajib
bekerja seerat‑eratnya dengan berbagai instansi Pemerintah yang
bersangkutan, termasuk instansi atau organisasi swasta. Pertanggungjawabannya,
tetap diberikan kepada Menteri. Tuntutan ini menyangkut
pemilikan paten. Dalam hal ini orang yang merasa bahwa berdasarkan ketentuan
Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 sebenarnya berhak atas suatu paten, dapat
menuntut orang lain yang ternyata telah memperoleh paten. Penentuan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa tuntutan serupa ini didasarkan
pertimbangan antara lain : a. kemudahan untuk memperoleh data termasuk
dokumen yang diperlukan dalam pembuktian; b. adanya faktor internasional dalam pelaksanaan
sistem paten. Namun demikian bilamana
keadaan di masa mendatang telah memungkinkan, Menteri dapat menetapkan
Pengadilan Negeri lainnya untuk melayani tuntutan yang serupa. Yang dimaksud dengan hak
yang melekat pada paten antara lain meliputi manfaat ekonomi yang telah
dinikmati dari paten yang bersangkutan. Ketentuan ini berlaku
pula dalam hal adanya tuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 121 ayat (1). Sekalipun paten
merupakan hak milik perorangan, tetapi pelaksanaannya memiliki dampak yang
sangat luas dalam segi lain terutama di bidang tatanan kehidupan sosial,
ekonomi dan politik. Oleh karenanya, agar
pelaksanaan hak tersebut dapat berlangsung dengan tertib, Negara juga mengancam
pidana atas pelanggaran tertentu terhadap Undang‑undang ini. Yang dimaksud Pengadilan
Negeri adalah pengadilan tingkat pertama. Pemberian wewenang
kepada pejabat pegawai negeri sipil dalam ayat ini, sama sekali tidak
mengurangi wewenang penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk
menyidik tindak pidana di bidang paten. Dalam pelaksanaan tugas
dan wewenangnya pejabat pegawai negeri sipil tersebut berada di bawah
koordinasi dan pengawasan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Kewenangan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam Undang‑undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, diminta atau tidak
diminta memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada pejabat penyidik pegawai
negeri sipil tersebut pada ayat (1). Yang dimaksud dengan
petunjuk antara lain, ialah yang berkaitan dengan teknik dan taktik penyidikan
sedangkan bantuan penyidikan antara lain penangkapan, penahanan dan pemeriksaan
laboratorium. Oleh karena itu, pejabat
penyidik pegawai negeri sipil sejak awal wajib memberitahukan tentang
penyidikan itu kepada penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya hasil penyidikan berupa berkas perkara, tersangka dan barang bukti
diserahkan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia. Yang dimaksud dengan
Pengumuman Pemerintah Tahun 1953 adalah Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor
J.S.5/41/4 tanggal 12 Agustus 1953 yang dimuat dalam Berita Negara Nomor 69
tanggal 28 Agustus 1953 dan Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17
tanggal 29 Oktober 1953 yang dimuat dalam Berita Negara Nomor 91 tanggal 13
Nopember 1953. Pembatasan bahwa yang
dapat dimintakan paten adalah permintaan yang telah didaftarkan dalam 10
(sepuluh) tahun terakhir didasarkan atas pertimbangan bahwa sekalipun dalam
pengumuman tanggal 12 Agustus 1953 diberitahukan adanya kemungkinan untuk
diberikan prioritas untuk diproses, tetapi hal itu pun berkaitan dengan realita
yang berkaitan dengan jangka waktu paten yang diatur dalam Undang‑undang
ini serta waktu yang dibutuhkan untuk memprosesnya. Dalam pengajuan
permintaan paten tersebut, sepenuhnya harus diikuti ketentuan Undang‑undang
ini. Karena dinyatakan gugur,
maka pendaftaran tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan hukum lagi dan
karenanya tidak berlaku. UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA PENERTIBAN
PERJUDIAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan
dengan Agama, Kesusilaan dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi
penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara; b. bahwa
oleh karena itu perlu diadakan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian,
membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju
kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia; c. bahwa
ketentuan-ketentuan dalam. Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun
1912 Nomor 23O) sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir
dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor
526), telah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan; d. bahwa
ancaman hukuman didalam pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai
perjudian dianggap tidak sesuai lagi sehingga perlu diadakan perubahan dengan
memperberatnya; e. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas perlu disusun
Undang-undang tentang Penertiban Perjudian. Mengingat : 1. Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1); 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor lV/MPR/1973 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara; Mengingat pula : 1. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Pasal 303 ayat (1), (2) dan (3) dan Pasal 542 ayat (1) dan (2); 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 38 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3037). Dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN. Menyatakan semua tindak pidana perjudian
sebagai kejahatan. (1) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat
(1) Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dari Hukuman penjaara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah
menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda
sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah. (2) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat
(1) Kitab Undang- undang Hukum Pidana,
dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda
sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah. (3) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat
(2) Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya
tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi
hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima
belas juta rupiah. (4) Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis. (1) Pemerintah mengatur penertiban perjudian sesuai
dengan jiwa dan maksud Undang-undang ini. (2) Pelaksanaan
ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Perundang- undangan. Terhitung mulai berlakunya peraturan
Perundang-undangan dalam rangka penertiban perjudian dimaksud pada Pasal 3
Undang-undang ini, mencabut Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun
1912 Nomor 230) sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir
dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526). Undang-undang ini berlaku berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 6 Nopember 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Diundangkan
di Jakarta pada
tanggal 6 Nopember 1974 MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 54 UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA PENERTIBAN
PERJUDIAN Bahwa pada hakekatnya perjudian
adalah bertentangan dengan Agama, Kesusilaan, dan Moral Pancasila, serta
membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa, dan Negara. Namun
melihat kenyataan dewasa ini, perjudian dengan segala macam bentuknya masih
banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuan-ketentuan dalam
Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) dengan segala
perubahan dan tambahannya, tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan. Ditinjau dari kepentingan nasional,
penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap
moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan
juga menunjukkan, bahwa hasil perjudian yang diperoleh Pemerintah, baik Pusat
maupun Daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses
negatipnya lebih besar daripada ekses positipnya. Apabila Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 BAB II huruf C angka 5 menyimpulkan,
bahwa usaha pembangunan dalam bidang materiil tidak boleh menelantarkan usaha
dalam bidang spiritual, malahan kedua bidang tersebut harus dibangun secara
simultan, maka adanya dua kepentingan yang berbeda tersebut perlu segera
diselesaikan. Pemerintah harus mengambil langkah
dan usaha untuk menertibkan dan mengatur kembali perjudian, membatasinya sampai
lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju ke penghapusannya sama
sekali dari seluruh wilayah Indonesia. Penjudian adalah salah satu penyakit
masyarakat yang manunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari
generasi ke generasi ternyata tidak mudah diberantas. Oleh karena itu pada
tingkat dewasa ini perlu diusahakan agar masyarakat menjauhi melakukan
perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya, dan
terhindarnya ekses-ekses negatip yang lebih parah, untuk akhirnya dapat
berhenti melakukan perjudian. Maka untuk maksud tersebut perlu
mengklasifikasikan segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai
kejahatan, dan memberatkan ancaman hukumannya, karena ancaman hukuman yang
sekarang berlaku ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya
jera. Selanjutnya kepada Pemerintah
ditugaskan untuk menertibkan perjudian sesuai dengan jiwa dan maksud
Undang-undang ini, antara lain dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan
yang diperlukan untuk itu. PENJELASAN
PASAL DEMI PASAL Dengan Pasal 3 ayat (1) ini
Pemerintah dimaksudkan menggunakan kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk
menertibkan perjudian, hingga akhirnya menuju kepenghapusan perjudian sama
sekali dari Bumi Indonesia Agar tidak terjadi kekosongan hukum
selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur penertiban
perjudian sebagai pelaksanaan Undang-undang ini, maka pasal ini dimaksudkan
sebagai aturan peralihan. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 3040 KOMPAS.com – Semakin canggihnya teknologi membuat komunikasi hingga transaksi bisnis memasuki era baru. Era yang disebut globalisasi ini membuat tidak ada lagi batasan dalam bertukar informasi atau melakukan jual beli. Namun, kemajuan teknologi ini ternyata juga berdampak negatif. Berbagai potensi penipuan online semakin mudah terjadi. Lalu, apa saja undang-undang yang mengatur tentang penipuan online? Baca juga: Diburu Polda Metro Jaya, Bos Penipuan Online yang Rugikan Korbannya Ratusan Juta Rupiah Diringkus di Sulsel Aturan terkait penipuan online dituangkan lebih jelas dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016. Sebagai undang-undang yang bersifat khusus, UU ITE dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat dalam beraktivitas di dunia maya. Selain itu, UU ITE juga memiliki keterkaitan dengan pasal-pasal yang ada di dalam KUHP untuk mempermudah dalam penyelesaian suatu perkara. Baca juga: Narapidana Jadi Dalang Penipuan Online, Bermodus Menyamar Jadi Polisi Terkait penipuan online, Pasal 28 Ayat 1 menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.” Berdasarkan Pasal 45A, setiap orang yang melakuan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat 1 akan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Pemerintah telah menetapkan sejumlah pedoman implementasi dalam menentukan seseorang melanggar Pasal 28 Ayat 1 UU ITE atau tidak. Pedoman impelementasi tersebut tertuang dalam Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung dan Kapolri Nomor 229, 154 KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atau Pasal Tertentu dalam UU ITE. Beberapa pedoman implementasi yang harus dipatuhi, yakni: 14-05-2023 - Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Pelaihari — KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI KALIMANTAN SELATAN Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) adalah undang-undang di Indonesia yang mengatur tentang penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Undang-undang ini ditujukan untuk mengatur kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan internet, komputer, dan perangkat elektronik lainnya. Undang-Undang ITE di Indonesia secara resmi disebut sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang ini memiliki beberapa pasal yang mengatur tentang berbagai aspek penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik, termasuk hak dan kewajiban pengguna internet, perlindungan data pribadi, tindakan pidana terkait dengan penyalahgunaan teknologi informasi, dan tata cara penyelesaian sengketa elektronik. Berikut adalah beberapa pasal penting dalam Undang-Undang ITE: Sumber kuat untuk membaca dan mempelajari Undang-Undang ITE secara lengkap adalah mengakses sumber resmi seperti situs web resmi Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia atau situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Dalam hal ini, disarankan untuk mengunjungi situs web resmi hukumonline.com, yang menyediakan salinan lengkap undang-undang Indonesia dan sumber hukum terkait lainnya. UU ITE
Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Teknologi informasi
Transaksi elektronik
Internet
Komputer
Pasal 27 Ayat (3)
Penyebaran informasi melanggar kesusilaan
Pasal 27 Ayat (4)
Penghinaan melalui media elektronik
Pencemaran nama baik
Pasal 28
Pelanggaran hak cipta
Norma agama dan kesusilaan
Pasal 54
Penyimpanan data elektronik
Kementerian Hukum dan HAM
Dewan Perwakilan Rakyat
Hukum online
#UUITE
#InformasiTransaksiElektronik
#TeknologiInformasi
#TransaksiElektronik
#Internet
#Komputer
#Pasal27Ayat3
#PenyebaranInformasi
#Kesusilaan
#Pasal27Ayat4
#PenghinaanMediaElektronik
#NamaBaik
#PelanggaranHakCipta
#NormaAgama
#Pasal54
#DataElektronik
#KementerianHukum
#DewanPerwakilanRakyat
#HukumOnline Aturan mengenai tindak pidana penipuan dapat ditemukan dalam Pasal 378 KUHP. Meskipun tidak mengkhususkan penipuan di dunia maya, namun pasal ini juga kerap digunakan dalam perkara penipuan online. Pasal 378 berbunyi, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”Undang - Undang Narkotika
UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Mengenal Undang-Undang ITE
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)